Satrio Piningit merupakan sosok misterius yang diramalkan akan datang sebagai ratu adil di Indonesia. Ia dijadwalkan akan keluar saat negeri ini memasuki masa injury time yakni ketika zaman Kalabendu atau zaman kehancuran Indonesia mencapai puncaknya.
Meski banyak yang tidak percaya, namun tetap saja cerita tentang Satrio Piningit dalam Ramalan Jayabaya menjadi topik menarik setiap kali diperbincangkan. Bagaimana kisahnya sang ksatria ini begitu populer hingga zaman kini?
Tokoh Ksatria Piningit muncul dalam ramalan Raja Kediri yakni Prabu Jayabaya, yang terkenal mampu meramal dan memprediksi masa depan Nusantara. Ramalan ini dikenal khususnya di kalangan masyarakat Jawa yang dilestarikan secara turun temurun oleh para pujangga. Ramalan Jayabaya digubah oleh Sunan Giri Prapen dalam kitab Musasar pada tahun Saka 1540 atau 1618 M. Salah satu ramalan yang sudah menjadi kenyataan adalah kedatangan tentara Jepang ke Indonesia.
“Orang Jawa akan diperintah oleh orang kulit putih selama 3 abad dan oleh kerdil kuning untuk masa hidup tanaman jagung sebelum kembalinya Ratu Adil:…..”
Ramalan ini memang terbukti benar. Namun bagaimana dengan Satria Piningit? Jayabaya meramalkan bahwa Satrio Piningit akan menjadi Pemimpin Besar Nusantara. Ia digambarkan sebagai sosok tersembunyi (Piningit) yang cerdas, jujur dan berprilaku lurus atau benar.
Dalam ramalannya, sang ksatria tidak hanya akan memimpin tanah Jawa, namun akan memerintah dunia. Namun Ia baru akan keluar ketika sudah terjadi musibah dan bencana yang besar. Dalam perjalanan hidupnya Ia dituliskan akan selalu mengalami kesengsaraan, selalu dipermalukan, sial, dan “kesapar” (miskin). Oleh karena itu, ia mendapat julukan “Satrio Wiragung” (The Ksatria Agung).
Menurut ramalan tersebut, nantinya Ia tidak akan menjabat sebagai kepala negara karena pemilihan, namun karena revolusi besar-besaran. Banyak orang percaya nubuat (ramalan) ini sehingga Satrio Piningit ditunggu-tunggu kedatangannya.
Kutipan beberapa ramalan tentang Satrio Piningit
1. Bait 140 : Polahe wong Jowo koyo gabah den interi, endi sing bener endi sing sejati, poro topo podho ora wani, podho wedi ngajarake piwulang adi, salah-salah anemahi pati. Terjemahan: Perilaku orang Jawa seperti butiran-butiran padi diatas nampan yang diputar (bulir-bulir padi yg berlarian kesana-kemari saling bertabrakan), mana yang benar mana yang sejati, para pertapa tidak ada yang berani, semua takut mengajarkan ajaran baik, salah-salah bisa mati.
2. Bait 141 : Banjir bandang ono ngendi-endi, gunung njeblug tan anjarwani, tan angimpeni. Gehtinge kepathi-pati marang pandhita kang oleh pati geni, margo wedi kapiyak wadine sopo siro sing sayekti. Terjemahan: Banjir bandang terjadi dimana-mana, gunung meletus tak terduga, tanpa memberi isyarat sebelumnya. Bencinya sangat mendalam terhadap pendeta (orang pintar/waskita) yg menjalani tirakat tingkat tinggi, karena takut terbongkar rahasia siapa dirinya yang sejati (sebenarnya).
3. Bait 159 : Selet-selete yen mbhesuk ngancik tutuping Tahun, sinungkalan dhewo wolu, angasto manggalaning ratu, Bakal ono dhewo ngejawantah, apengawak manungsa, apasuryo pindho Bethoro Kresno, awatak Bolodhewo, agegaman Trisulo wedho, jinejer wolak-waliking Zaman, wong nyilih ambhalekake, wong Utang ambhayar , Utang Nyawa bhayar nyowo, Utang wirang nyaur wirang. Terjemahan: Selambat-lambatnya nanti menginjak tutup tahun, (sinungkalan dhewo wolu, angasto manggalaning ratu = dipimpin 8 dewa, menjabat panglimanya raja = bisa berarti tahun sesuai condro sengkolo). Akan ada dewa menjelma kedunia, berbadan manusia, bermuka seperti Bethara Krisna, berwatak Baladewa, bersenjata Trisula Wedha, sejajar dg terbaliknya zaman, orang pinjam akan mengembalikan, orang hutang akan menyahur, Hutang nyawa bayar nyawa, hutang malu nyahur malu
4. Bait 161 : Dunungane ono sikil redhi Lawu sisih wetan, wetane bengawan banyu, adhedukuh pindho Radhen Gatotkoco, Arupa pagupon DORO tundho Tigo, KOYO manungsa angleledho. Terjemahan: Tempatnya di kaki gunung Lawu sebelah timur, sebelah timurnya sungai (Bengawan) air, berumah seperti Raden Gatotkaca, berupa rumah merpati bertingkat tiga, seperti manusia yang menggoda.
Baca juga: Ramalan Jangka Jayabaya yang Terbukti di Indonesia
Percayakah Anda terhadap kedatangan sang Ksatria Piningit? Kepercayaan hendaknya disertai dengan tindakan positif bukan kepercayaan pasif yang hanya diteriakkan ataupun pasif menunggu pasrah (kedatangan sang tokoh). Bukan hal aneh sepertinya kalau dalam situasi menunggu tanpa kepastian ini sering dimanfaatkan oleh pihak tertentu yang memanfaatkannya untuk kepentingan politik dan kekuasaan.
Tuan-tuan Hakim, apakah sebabnya rakyat senantiasa percaya dan menunggu-nunggu datangnya “Ratu Adil”, apakah sebabnya sabda Prabu Jayabaya sampai hari ini masih terus menyalakan harapan rakyat ? Tak lain ialah karena hati rakyat yang menangis itu, tak habis-habisnya menunggu-nunggu, mengharap-harapkan datangnya pertolongan. Sebagaimana orang yang dalam kegelapan, tak berhenti-berhentinya menunggu-nunggu dan mengharap-harap “Kapan, kapankah Matahari terbit?”. Soekarno, 1930, Indonesia Menggugat
Ramalan Jayabaya mungkin bisa dipahami secara ilmiah, bahwa manusia dan peradaban memang selalu bisa bangkit, hancur, dan bangkit lagi. Mungkin, ini juga dorongan pada manusia agar selalu berbesar hati, optimis. Bahwa di saat yang paling berat sekalipun, suatu hari akhirnya akan datang juga Masa Kesadaran, Masa Kebangkitan Besar, Masa Keemasan Nusantara.