Motif batik ada banyak sekali dan dalam perkembangannya mengalami berbagai perubahan bentuk dari motif aslinya. Namun menurut beberapa masyarakat terutama di tanah Jawa, ada beberapa mitos yang berhubungan erat dengan corak/motif batik itu sendiri. Hal ini terjadi secara turun menurun dari generasi sebelumnya. Namun menurut masyarakat modern batik adalah karya seni bernilai tinggi yang harus dikagumi keindahannya, masyarakat modern tidak berpengaruh tentang adanya mitos yang ada pada kain batik tersebut.
Berikut ini adalah 4 mitos tentang Batik yang masih dipercaya oleh sebagian masyarakat Indonesia.
1. Batik Motif Sido Luhur
Pertama kali motif ini dibuat oleh Ki Ageng Henis, kakek dari Panembahan Senopati (pendiri kerajaan Mataram Islam di Kota Gedhe, Yogyakarta). Motif ini dibuat khusus untuk anak-keturunannya dengan harapan agar si pemakainya memiliki hati dan pikiran luhur sehingga hidupnya bermanfaat bagi masyarakat banyak. Motif ini kemudian dimanifestasikan oleh Nyi Ageng Henis ke dalam lembaran kain (dicanting).
Mitosnya, Nyi Ageng selalu megeng (menahan) nafas dalam mencanting sampai habisnya malam (lilin yang digunakan untuk membatik berbahan baku dari sarang lebah) dalam canting tersebut. Hal itu dimaksudkan agar konsentrasi terjaga dan seluruh doa dan harapan dapat tercurah secara penuh ke kain batik tersebut. Sampai saat inipun secara umum proses penciptaan batik masih sama seperti jaman dulu. Tugas membuat motif /patron (disebut nyorek dalam bahasa Jawa) dikerjakan laki-laki, sedang wanita yang mencanting.
2. Batik Motif Parang
Motif ini dibuat oleh Panembahan Senopati, raja pertama kerajaan Mataram Islam yang bertahta 1530-1543. Panembahan mendapat inspirasi semasa ia melakukan teteki (menyepi dan bersemadi) sebelum menjadi raja, di goa pinggir Laut Selatan (sekarang dikenal sebagai pantaiParangkusumo, salah satu obyek wisata di Yogyakarta). Ia begitu kagum terhadap stalagmit danstalaktit yang ada di dalam goa yang dalam pandangan Panembahan sangat khas, khususnya pada saat gelap. Setelah menjadi Raja Mataram, ia pun memerintahkan para putri kraton untuk mencanting motif tersebut.
3. Batik Motif Truntum
Biasanya motif batik dianggit (dicipta) oleh kaum lelaki, sedang motif truntum adalah salah satu bentuk pengecualian. Motif ini dibuat oleh Kanjeng Ratu Beruk, selir dari Paku Buwono III (bertahta 1749-1788) di kraton Surakarta. Kanjeng Ratu Beruk bukan dari kalangan bangsawan tetapi anak dari seorang abdi dalem kraton bernama Mbok Wirareja. Persoalan status ini menjadikan Kanjeng Ratu Beruk selalu gundah. Ia mendamba jadi permaisuri kerajaan, sebuah status yang begitu dihormati dan dipuja. Tapi lebih dari semua itu, Kanjeng Ratu Beruk ingin selalu berada di samping sang raja agar malam-malam sunyi tidak ia lewati sendirian.
Pada suatu malam, perhatian Kanjeng Ratu Beruk tertuju pada indahnya bunga tanjung yang jatuh berguguran di halaman keraton yang berpasir pantai. Seketika itu juga ia mencanting motif truntum dengan latar ireng (hitam). Ini refleksi dari sebuah harapan, walaupun langit malam tiada bulan, masih ada bintang sebagai penerang. Selalu ada kemudahan di setiap kesulitan. Sekecil apa pun kesempatan, ia tetap bernama kesempatan.
4. Batik Motif Udan Riris
Paku Buwono III juga dikenal sebagai kreator motif batik. Beliau memegang tahta saat kraton Surakarta (Solo) banyak mengalami guncangan perpecahan pasca perjanjian Giyanti (1755). Mengacu pada hasil perjanjian Giyanti yang membagi wilayah dan isi keraton Kasunanan Surakarta, sebagian pusaka dan batik kraton pun telah dibawa ke Jogja oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian jumeneng (bertahta) sebagai raja pertama kerajaan Jogjakarta (Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat). Dimulailah perang dingin antara Solo dan Jogja pada masa itu.
Kerap terjadi saling ejek antara orang Solo dan Jogja. Batik Solo motif Krambil Sesungkildan Slobok yang dipakai para isteri bangsawan untuk melayat, di Jogja dipakai untuk parapunakawan (batur=pembantu) dalam kisah pewayangan. Begitu juga sebaliknya, batik Jogja motif Kawung yang dipakai bangsawan untuk melayat, di Solo dipakai oleh para punakawan. Saling ejek yang dirasa sangat menghina ini membuat Paku Buwono terguncang batinnya. Untuk meredam kegundahan hatinya, beliau melalukan teteki (menyepi atau semedi) dengan cara kungkum (berendam) di kali (sungai) Kebanaran. Lokasinya dekat dengan makam leluhurnya yaitu Ki Ageng Henis. Kungkum dilakukan pada malam hari dan hanya ditemani sebuah teplok sebagai lampu penerangan. Waktu dini hari, hujan gerimis mulai turun seakan turut sedih melihat kondisi saat itu. Bayangan hujan gerimis yang tertangkap oleh cahaya lampu teplok itulah yang di kemudian hari menjadi inspirasi motif udan riris (hujan gerimis).
Masa Paku Buwono IV bertahta (1788–1820) terjadi kebebasan berekspresi bagi rakyat kebanyakan. Jika sebelumnya batik dijadikan sebagai salah satu alat untuk menjalankan kekuasaan, maka pada masa Paku Buwono IV banyak motif batik yang lahir dari kalangan rakyat biasa. Dan mitos-mitos baru pun banyak bermunculan.
—
Baca juga: 12 fakta unik tentang batik yang harus kamu ketahui