Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah banyak melahirkan tokoh-tokoh nasional seperti WR Supratman, Jendral Urip Sumoharjo, Sarwo Edi Wibowo, Endriartono Sutarto, hingga AM Hendropriyono.
Wilayah Jawa Tengah Selatan antara Sungai Progo dan Cingcungguling ini,dahulu pernah masuk dalam kekuasaan Kerajaan Galuh, Menurut Purbocoroko, dari kata “Galuh”, muncul “Pagaluhan” dalam bahasa jawa menjadi Pagalihan. kemudian dari “Pagalihan” berubah lagi menjadi “Pagelen” dan terakhir menjadi Bagelen.
Di sekitar Bagelen mengalir sungai Bogowonto,dari tepi sungai tersebut di temukan sebuah prasasti bersejarah,tepatnya di bawah pohon Sono di dusun Boro Tengah,sekarang masuk wilayah desa Boro Wetan Kecamatan Banyuurip.
Prasasti itu menggambarkan tentang awal pembuatan koa. Pada bulan Asuji tahun Saka 823 hari ke 5, Paro Petang, Vurukung, Senin Pahing (Wuku) Mergasira, bersamaan dengan Siva, atau tanggal 5 Oktober 901(Shima). Peristiwa ini di kukuhkan dengan sebuah prasasti batu andesit yang di kenal sebagai prasasti Boro Tengah atau Prasasti Kayu Ara Hiwang.
Turut hadir upacara tersebut para pejabat dari berbagai daerah,seperti: Watu Tihang (Sala Tihang),Gulak, Parangran Wadihadi, Padamuan (Prambanan),Mantyasih (Meteseh Magelang), Medhang, Pupur, Taji (Taji Prambanan), Pakambingan, Kalungan (kalongan,Loano) dan Sang Ratu Bajara, yang di perkirakan adalah Rakaryan Mahamantri (Mahapatih Hino Sri Daksottama Bahubajrapratipaksya) atau Daksa yang diidentifikasi sebagai adik ipar Rakai Watukura Dyah Balitung yang di kemudian hari naik thata sebagai raja pengganti iparnya itu. Sementara yang bertindak melakukan pematokan (peresmian) tanah perdikan (Shima) Kayu Ara Hiwang adalah Dyah Sela (Mala), putra Sang Bajra sendiri.
Berdasarkan peristiwa peresmian tanah perdikan oleh Dyah Sela tersebut, pada tanggal 5 Oktober 1994 sidang DPRD Kabupaten Purworejo memutuskan tanggal dan tahun kejadian tersebut sebagai Hari jadi Kabupaten Purworejo,yang dulu lebih di kenal sebagai Bagelen.
Pembuatan Bedug Kyai Bagelen, Terbesar di Dunia
Seusai Perang Diponegoro tahun 1830, Kadipaten Bagelen di pecah menjadi empat wilayah oleh Kolonial Belanda, yaitu Kadipaten Brengkelan, Kadipaten Semawung, Kadipaten Karangduwur, dan Kadipaten Ngaran. Pemecahan tersebut adalah bentuk politik pecah belah Pemerintahan Hindia Belanda. Yang bertujuan agar pemberontakan seperti masa Diponegoro tak terulang.
Karena berkonotasi jelek, nama Kadipaten Brengkelan di ubah menjadi Purworejo oleh Adipati Cokronegoro (Bupati Pertama) tahun 1831. Selain mengubah nama wilayah, Cokronegoro selalu membuat proyek-proyek mercu suar.
Setelah sukses mendirikan istana kadipaten dan alun-alun yang berukuran besar, Cokronegoro juga membangun masjid agung terbesar yang menandingi kebesaran Masjid Agung Kesunanan Surakarta.
Setelah masjid berdiri, seperti biasanya di perlukan sebuah beduk penanda waktu shalat. Cokronegoro lalu mengutus pasukanya mencari kayu jati terbaik di hutan Dusun Pendowo, Desa Bragolan, Bagelen. Akhirnya ditemukan pohon jati berdiameter dua meter dan konon bercabang lima.
Untuk membawa bedug ke Masjid Agung Purworejo dari hutan Pendowo yang berjarak sembilan kilometer, pada saat itu bukanlah persoalan mudah. Akhirnya, lewat ide seorang modin dari Dusun Pendowo, bedug itu dibawa ke masjid agung debgan cara digelindingkan dengan balok kayu. Bupati juga memerintahkan segenap aparat desa dan warganya untuk bersedia membantu perjalanan bedug secara estafet dari hutan pendowo hingga ke desa-desa yang dilaluinya sampai ke masjid agung, upaya tersebut konon memakan waktu sampai setengah bulan.
Hingga kini bedug terbesar di dunia tersebut masih tersimpan di srambi Masjid Agung Purworejo, yang terletak di sebelah Barat alun-alun kabupaten. Bedug itu berukuran panjang 2,92 meter dan diameter rata-rata 1,94 meter, di perkirakan bedug tersebut dibuat tahun 1762 Jawa atau 1834 Masehi. Bedug raksasa ini di beri nama Kyai Bagelen. Dinamakan Kyai Bagelen karena bedug tersebut di buat dari daerah Bagelen,yang merupakan cikal bakal wilayah Kadipaten Purworejo. Dahulu penutup bedug yang di gunakan untuk di tabuh terbuat dari kulit banteng, sekarang di gunakan sapi impor, karena kulit sapi lokal tidak bisa menutupi seluruh lingkaran nedug. Untuk menjaga keawetan kulit dan kayu, Bedug Kyai Bagelen hanya ditabuh pada hari-hari besar keagamaan dan pada hari jumat. Beda dengan di masa lampau hampir setiap hari bisa di tabuh.