Untuk turut serta, para lelaki akan berkumpul di lapangan dengan membawa telur ayam rebus.
Idul Fitri telah dirayakan oleh umat Islam di berbagai negeri selama ribuan tahun. Dan selama itu pula, berbagai tradisi menyambut Lebaran tak putus jadi penghias festival tahunan yang penuh sorak-sorai kemenangan.
Afghanistan, contohnya, punya kebiasaan khas yang masih berlangsung hingga kini. Mereka menyebutnya dengan adu telur. Untuk turut serta, para lelaki akan berkumpul di lapangan dengan membawa telur ayam rebus. Nantinya, telur-telur itu akan saling diadu. Peserta akan dianggap sebagai pemenang jika kulit telurnya tak pecah hingga akhir lomba.
Namun, seiring dengan perang yang tak berkesudahan, tingkat kepopuleran perang telur kian menurun, meski tak berarti permainan itu sama sekali telah sepenuhnya ditinggalkan.
Di masa lalu, seorang perempuan lanjut usia bercerita kepada CNN, banyak orang masih mendaur ulang pakaian usang mereka demi mendapatkan yang ‘baru’ alih-alih membeli. Setelah itu, mereka akan menghiasi mata mereka dengan pewarna hitam dan pergi ke lapangan untuk mengadu telur.
Cara memainkannya semudah membalik telapak tangan. Dua peserta saling dihadapkan. Mereka sudah siap dengan telur di tangan. Jika keduanya telah siap, telur akan saling dihantamkan. Krak! Si pecundang adalah ia yang telurnya lebih dulu hancur.
Pernah kegiatan ini meminta korban nyawa. Tentunya gara-gara tentara Taliban ikut campur, demikian laman BBC.
Merupakan hal biasa jika permainan itu dijadikan ajang bertaruh. Tapi, pada daerah yang dikuasai Taliban, larangan berjudi termaktub dalam Hukum Syariah yang mereka jalankan.
Masalah bermula ketika beberapa prajurit Taliban itu melihat ada peserta yang memasang taruhan. Mereka tak tinggal diam. Para petaruh diminta berhenti. Tapi, yang diminta malah melawan. Merasa kekurangan orang, tentara Taliban itu pergi memanggil bantuan. Tapi penduduk setempat tak kalah siap. Akibatnya, perang kecil meletup. Bahkan sempat pula terjadi adu roket. Enam orang tewas dalam peristiwa itu.