Kasus Rohingnya bukanlah peristiwa yang baru muncul belakangan. Sejak bertahun-tahun lalu, kaum muslimin Rohingnya sudah menjadi ‘pesakitan’ dengan hidup di atas perahu dan mencari suaka ke berbagai negara. Masalahnya bukan hanya tentang isu agama, tapi juga politik, kekuasaan, kewarganegaraan, diskriminasi etnis dan lain sebagainya. Menurut saya yang terpenting sekarang bukan hanya ‘mengangkat” masalah pembunuhan atas nama agama, tapi juga tawaran solusi dan advokasi yang bisa segera dilakukan.
Kedukaan di awal tahun 2009 ini bukan hanya milik warga Gaza tapi juga bagi ribuan pencari suaka Rohingya asal Myanmar. Warga minoritas muslim Myanmar ini sudah belasan hari terdampar di lautan mencari suaka ke negara-negara sekitar Selat Malaka dan Laut Andaman. Dan ini hanya salah satu episode saja. Karena, sama dengan rakyat Gaza yang telah menderita sejak awal pembentukan negara Israel, etnis Rohingya-pun sejak awal merdekanya negara Burma (kemudian menjadi Myamnar pada tahun 1989) tak pernah mendapat pengakuan sebagai etnis dari sekitar 137 etnis yang diakui di Myanmar. Maka, dalam bahasa aktivis LSM di Thailand, etnis Rohingya disebut sebagai : Stateless and Forgotten People (orang tanpa kewarganegaraan dan dilupakan).
Terusir dari negerinya dan menjadi manusia perahu (boat people), warga Rohingya tertatih-tatih menanti negeri yang mau menampung mereka. Sekitar 1200 warga Rohingya meninggalkan Myanmar pada bulan Desember 2008 menuju Thailand. Datang dengan cara yang tidak umum, otoritas Thailand segera menampik mereka. Sebagian mereka masih ditahan di Thailand dan sebagian kembali terusir ke laut. Menggunakan sembilan perahu mereka kemudian terdampar di Laut Andaman, sebagian kecil diselamatkan oleh warga Indonesia dan kini ditampung sementara di Aceh. Sebagian kecil yang lain diselamatkan oleh Angkatan Laut India. Selebihnya masih terkatung-katung. Nelayan Aceh menyelamatkan 220 ‘manusia perahu’ Rohingya pada 2 Februari 2009, namun 22 diantaranya telah tewas karena kehausan dan kelaparan.
Penelantaran oleh negara asal Myanmar dan pengusiran oleh negara tujuan Thailand tentunya menimbulkan pertanyaan, apakah memang stateless persons dan para pencari suaka (asylum seekers) tak memiliki hak untuk diperlakukan secara wajar dan mendapatkan perlindungan yang layak secara kemanusiaan?
Rohingya dan Muslim di Myanmar
Tak ada satupun warga di dunia ini yang ingin jadi pencari suaka ataupun pengungsi. Sama halnya dengan warga Rohingya. Sayangnya, negeri tempat mereka hidup tak lagi ramah untuk mereka. Bukan hanya saat ini, sudah berpuluh tahun etnis minoritas Rohingya hidup dalam kedukaan di Myanmar.
Tak ada data pasti tentang persentase muslim di Myanmar. Dan Rohingnya bukan satu-satunya etnis muslim di Myanmar. Disamping etnis Rohingya, ada pula etnis Indian Muslim yang kebanyakan tinggal di Rangoon (berubah menjadi Yangoon pada tahun 1989), kemudian etnis Panthay, etnis muslim keturunan China yang bermigrasi dari China Barat Laut (muslim Hui), etnis muslim keturunan Melayu yang tinggal di Kawthaung dan sebagian kecil bermukim di pulau-pulau sekitar laut Andaman dan kerap disebut sebagai Moken (atau Sea Gypsy/ Orang Laut).
Etnis Rohingya mendiami sisi utara negara bagian Rakhine (sebelumnya bernama Arakan) di Myanmar bagian barat. Konsentrasi mereka ada di lima kota di sisi utara Rakhine masing-masing adalah di Maungdaw, Buthidaung, Rathedaung, Akyab, Sandway, Tongo, Shokepro, Rashong Island dan Kyauktaw. Dari sisi geografis,demografis, dan bahasa, mereka memiliki kedekatan dengan Bangladesh (Bengal) yang memang dikenal sebagai negeri muslim.
Status etnis Rohingya di Myanmar saat ini adalah stateless persons alias orang tanpa kewargenegaraan. Mereka tak pernah diakui pemerintah Myanmar sebagai salah satu dari 137 etnis yang diakui di Myanmar. Status ini tentunya membawa masalah. Karena memang dalam sejarah keberadaannya di Myanmar, bahkan jauh sebelum Myanmar merdeka dari Inggris pada tahun 1948, mereka kerap menjadi obyek penyiksaan (persecution) dan kebencian, yang menyebabkan kehidupan dan mencari lapangan pekerjaan menjadi amat sulit. Maka, amat beralasan bagi mereka untuk kemudian mencari suaka ke negeri lain.
Pencari Suaka, Pengungsi, dan Stateless Persons
Berdasarkan Konvensi tentang Status Pengungsi tahun 1951 dan Protokol tahun 1967, seseorang disebut pengungsi ketika ia memiliki dasar dan ketakutan yang beralasan akan menjadi korban penyiksaan atas dasar ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu, ataupun karena opini politiknya, dimana ia kemudian berada di luar negara asalnya dan tak dapat ataupun tak ingin kembali ke negeri asalnya karena alasan akan menjadi korban penyiksaan (persecution).
Pengertian ‘pengungsi’ amat berbeda dengan migran. Migran adalah mereka yang berpindah ke luar negaranya karena pilihan sendiri dan lebih karena alasan ekonomi, ataupun karena ingin mencari penghasilan yang lebih baik. Sebaliknya, ‘pengungsi’ adalah mereka yang ‘terpaksa” pindah dari negerinya karena alasan yang kuat akan menjadi korban penyiksaan dan ketidakamanan.
Sementara itu, pencari suaka (asylum seekers) adalah orang-orang yang terusir dari negerinya dan mencari suaka (asylum) ke negeri lain dan dimana ia belum mendapatkan keputusan tentang ‘status pengungsi’ (refugee status) –nya. Pencari suaka adalah mereka yang belum mengajukan permohonan ataupun sedang menunggu hasil keputusan mengenai ‘status pengungsi’ –nya dari suatu negara.
Stateless Persons alias ‘orang tanpa kewarganegaraan’ adalah seseorang yang tak diakui sebagai warganegara oleh yurisdiksi hukum suatu negara. Stateless persons adalah juga memenuhi kualifikasi untuk disebut sebagai pengungsi.
Bagaimanakah status ‘manusia perahu’ Rohingya? Menilik pengertian di atas, mereka adalah orang-orang tanpa kewarganegaraan (stateless persons) sekaligus pencari suaka (asylum seekers). Namun tidak jelas apakah kemudian suatu negara akan memberikan kepada mereka status sebagai ‘pengungsi” (refugees) atau tidak.
Prinsip Non Refoulement
Berdasarkan pasal 14 (1) Deklarasi HAM Universal 1948, setiap orang memiliki hak untuk mencari dan menikmati suaka dari negara lain karena takut akan penyiksaan. Setiap pencari suaka-pun memiliki hak untuk tidak diusir atau dikembalikan secara paksa apabila mereka telah tiba di suatu negara dengan cara yang tidak lazim. Prinsip ini kemudian dikenal sebagai non refoulement.
Pasal 33 (1) Konvensi tentang Status Pengungsi 1951 menyebutkan bahwa negara-negara peserta Konvensi ini tidak diperbolehkan utuk mengusir ataupun mengembalikan pengungsi dalam bentuk apapun ke luar wilayahnya dimana keselamatan dan kebebasan mereka terancam karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial ataupun opini politik tertentu.
Prinsip non refoulement ini tidak hanya terdapat pada Konvensi 1951, namun juga tercantum secara implisit maupun eksplisit pada Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture) pasal 3, Konvensi Jenewa IV (Fourth Geneva Convention) tahun 1949 pada pasal 45 paragraf 4, pada Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) 1966 pasal 13, dan instrumen-instrumen HAM lainnya.
Prinsip inipun telah diakui sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional (international customary law). Dalam arti, negara yang belum menjadi pihak (state parties) dari Konvensi Pengungsi 1951 –pun harus menghormati prinsip non refoulement ini.
Mensikapi Pencari Suaka Rohingya
Baik Myanmar, Thailand, maupun Indonesia hingga saat ini belum menjadi negara pihak (state parties) dari Konvensi Status Pengungsi 1951. Kendati demikian negara-negara tersebut tak bisa melepaskan tanggungjawabnya begitu saja terhadap pencari suaka Rohingya.
Myanmar selaku negara asal adalah yang paling bertanggungjawab. Karena sudah puluhan tahun lamanya etnis Rohingnya bermukim di Myanmar namun tak kunjung diakui sebagai warganegara. Myanmar juga membiarkan terjadinya penyiksaan dan diskriminasi terhadap mereka atas dasar perbedaan etnis dan agama (persecution). Hal mana dapat digolongkan sebagai kejahatan negara (state violence).
Thailand dan Indonesia bertanggungjawab untuk tidak serta merta mengusir dan memulangkan mereka secara paksa (non refoulement) ketika pencari suaka asal Rohingnya terdampar ataupun tiba di wilayah kedaulatannya melalui cara yang tidak lazim. Karena memulangkan mereka ke Myanmar pada kondisi seperti ini ibarat mengembalikan mereka ke mulut buaya.
Jalan terbaik adalah menampung mereka untuk sementara sambil menentukan proses selanjutnya, apakah akan memberi suaka langsung, meneruskan ke negeri lain, ataukah mengembalikan ke negeri asal ketika kondisinya memang sudah memungkinkan. Dalam proses ini, Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR- United Nations High Commission for Refugees) harus dilibatkan. Karena, UNHCR memiliki mandat untuk memberikan perlindungan terhadap pengungsi dan memfasilitasi mereka untuk menyelesaikan masalah pengungsiannya. Dan mandat ini tak terbatas pada ‘pengungsi’ yang dimaksud pada Konvensi Status Pengungsi 1951 saja melainkan juga untuk orang-orang tanpa kewarganegaraan (stateless persons) orang-orang yang kembali pulang dari pengungsiannya (returnees) dan juga, pada kasus-kasus tertentu, adalah para pengungsi dalam negeri (internally displaced persons).