Di dalam Kamasutra, hubungan intim suami istri bukan sekadar untuk memenuhi hasrat biologis, melainkan sesungguhnya jalan untuk mencapai kesempurnaan kepuasaan batin.
Orgasme bisa mengantar seseorang untuk lebih mengenal dan mensyukuri Tuhan. Orgasme yang cerdas dapat mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Tuhan.
Orgasme biologis tidak berarti apa-apa jika dibandingkan orgasme spiritual, ketika seseorang hamba merasakan kesatuan (ittihad) dengan Sang Kekasih, Allah SWT.
Itulah sebabnya, kalangan praktisi spiritual berpaling dari orgasme biologis dengan cara menghindari perkawinan, demi memberi kesempatan spiritualnya untuk merasakan kepuasan batin dengan Tuhannya.
Namun, ini bukan berarti seseorang harus meninggalkan kepuasan biologis demi untuk memperoleh kepuasan spiritual. Islam tidak mengenal melampaui batas (al-ghuluw), sungguhpun itu ibadah.
Nabi SAW pernah menegur sahabatnya yang sudah lama tidak berhubungan dengan istrinya lantaran ingin fokus beribadah.
Nabi mengatakan, meskipun dirinya adalah nabi dan rasul, ia tetap memenuhi hak-hak biologis dan istri-istrinya. Bahkan, Nabi sebagaimana diceritakan oleh Aisyah, istrinya, sangat menikmati hubungan suami istri. Dari Aisyah, banyak riwayat ditemukan dasar-dasar seksologi dalam Islam (lihat artikel mendatang).
Untuk memperoleh puncak kepuasan batin, seorang pencari dan pencinta Tuhan juga harus mengawali usahanya dengan foreplay dalam bentuk riyadhah atau muraqabah, semacam spritual exercises.
Ketika seorang hendak melakukan riyadhah dan mujahadah, biasanya dianjurkan untuk menggunakan pakaian bersih, menggunakan wewangian, dan Nabi melarang mendekati masjid yang mulutnya bau bawang.
Kita diminta untuk fokus dan khusyuk karena dengan demikian seseorang akan mencapai puncak kenikmatan spiritual itu. Seusai menjalankan ibadah ritual, seperti shalat, tidak dianjurkan langsung berkemas meninggalkan sajadah, tempat ibadah.
Kita tetap diminta untuk terus berzikir. Inilah yang sering disebut dengan shalat qabliyyah dan shalat ba’diyah. Kadang-kadang, sisa-sisa kenikmatan dan kesyahduan spiritual itu masih terasa seusai shalat.
Puncak dari segala puncak kenikmatan hamba manakala ia bisa merasakan kedekatan diri, apalagi ittihad /dengan Tuhannya.
Itulah sebabnya, secantik apa pun bidadari surga, tidak membuat para penghuni surga bergeming karena di surga Sang Kekasih, Allah, bisa “diakses” secara langsung, dan di dalam Alquran puncak kepuasan di surga bukan mendapatkan hiburan para bidadari, mengonsumsi aneka ragam makanan dan minuman, menggunakan berbagai fasilitas dan perhiasan di dalamnya, tetapi puncak kebahagian dan kenikmatan itu ialah “berjumpa” atau “melihat” Tuhan.
Ibnu ‘Arabi memberikan penjelasan menarik dalam kitab Futuhat al-Makkiyyyah-nya tentang rahasia di balik mandi junub. Mengapa orang harus mandi junub seusai melakukan hubungan suami istri? Bagi Ibnu ‘Arabi, mandi junub salah satu bentuk pengungkapan penyesalan terhadap Tuhan, setelah yang bersangkutan melupakan Tuhannya karena menikmati orgasme biologis.
Ia harus mandi dan menyucikan dirinya kembali agar peluang untuk mencapai kepuasan spiritual tidak terdistorsi dengan kenikmatan dan kepuasan biologis yang baru saja dilakukan. Itulah sebabnya kita dianjurkan berdoa sebelum melakukan hubungan suami istri.
Doa itu diredaksikan sendiri oleh Nabi Muhammad SAW: “Ya Allah, jauhkanlah kami dari pengaruh setan dan jauhkan pula pengaruhnya terhadap rezeki yang engkau anugerahkan kepada kami.” Doa ini sangat populer sebagai doa pengantin baru.