RUKYAH Hilal Awal Syawal Cara Menentukan Idul Fitri 1 Syawwal ala Rasulullah, Rukyah Hilal atau Hisab? Awal Ramadhan dan awal Syawal seringkali menjadi polemik, karena adanya perbedaan cara penghitungan atau cara penetapannya. Rasulullah sebenarnya sudah memberikan petunjuk melalui hadits yang masih tercatat sampai sekarang. Cukup simpel, mudah, dan tidak memberatkan.
Berikut nukilan hadits dari kitab Shahih Bukhari.
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah telah menceritakan kepada kami Malik dari Nafi’ dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan tentang bulan Ramadhan lalu Beliau bersabda: “Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal dan jangan pula kalian berbuka hingga kalian melihatnya. Apabila kalian terhalang oleh awan maka perkirakanlah jumlahnya (jumlah hari disempurnakan),” (No. Hadist: 1773)
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah telah menceritakan kepada kami Malik dari ‘Abdullah bin Dinar dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Satu bulan itu berjumlah dua puluh sembilan malam (hari) maka janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihatnya. Apabila kalian terhalang oleh awan maka sempurnakanlah jumlahnya menjadi tiga puluh,” (No. Hadist: 1774)
Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu’bah telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ziyad berkata, aku mendengar Abu Hurairah radliallahu ‘anhu berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, atau katanya Abu Al Qasim shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah dengan melihatnya pula. Apabila kalian terhalang oleh awan maka sempurnakanlah jumlah bilangan hari bulan Sya’ban menjadi tiga puluh,” (No. Hadist: 1776)
Betapa mudahnya Rasulullah ternyata menentukan 1 Syawwal. Rasulullah tidak membebani umatnya dengan hal-hal yang memberatkan, hanya saja kadang umatlah yang membebani diri sendiri dengan hal-hal yang berat.
Dari hadits di atas kita bisa tahu, bahwa penentuan awal Ramadhan dengan melihat bulan sabit di penghabisan tanggal 29 sya’ban, bukan tanggal 28, 27, atau sebelumnya seperti yang dilakukan kelompok Tharikat sattariyah di Padang Pariaman Sumatra Barat. Tanggal 28 itu masih disebut bulan mati, secara akalpun tak akan bisa dilihat.
Sedangkan benda yang menjadi pijakan dalam hal penentuan awal Ramadhan adalah bulan sabit, bukan yang lain seperti yang dilakukan kelompok jamaah an nadzir di Gowa, Sulawesi Selatan. Mereka menggunakan tinggi gelombang air laut.
Metode yang dilakukan Rasulullah adalah dengan melihat, bukan menghitung. Melihat berarti membuktikan bahwa bulan memang terlihat, sedangkan ketika kita menghitung dan menetapkan , seakan-akan semua itu pasti adanya. Padahal di dunia ini tidak ada yang pasti. Apakah ketika hitungan kita mengatakan tanggal sekian bulan terlihat, itu akan pasti terlihat? Belum tentu, kita harus bisa membuktikan dengan melihat. Akhir dari segala keputusan adalah dengan melihat.
Ketika akhir tanggal 29 sya’ban kita tidak bisa melihat bulan sabit, maka petunjuk Rasulullah, genapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Tidak terlihatnya mungkin dikarenakan memang belum muncul, atau terhalang mendung. Tidak usah was-was, karena semua itu sudah sesuai pesan Rasulullah.
Semoga ilmu yang dibawa Rasulullah ini tidak akan punah karena umat Islam mencari jalan lain dalam menentukan awal Ramadhan dan awal syawal. Ini bisa saja terjadi karena alasan perkembangan jaman, maka ilmu ini ditinggalkan. Padahal ketika jaman Rasulullah dulu, ketika belum ditemukan peralatan canggih, hanya dengan menggunakan mata telanjang mereka bisa melihat bulan sabit untuk menentukan awal Ramadhan. Kalau bukan kita orang Islam, siapa lagi yang harus mengikuti ilmu Rasulullah saw.