Pergantian bulan Dzulhijjah menuju bulan Muharram atau dikenal juga dengan nama Bulan Suro, di Indonesia Bulan Suro terkenal unik karena memiliki makna yang cukup sakral dan keramat. Bagi golongan tertentu, Bulan Suro sangat identik dengan nuansa mistis dan dianggap membawa sial. Orang-orang dilarang menyelenggarakan pesta penikahan, pindah rumah, serta hajatan lainnya.
Kegiatan ini dipercaya akan mendatangkan bencana dan musibah bagi mereka yang tetap melakukan. Meski sudah hidup pada era modern, kepercayaan tentang keangkeran Bulan Suro masih dipegang erat hingga kini. Mengapa kepercayaan ini bisa berkembang begitu kental?
Berikut ini alasan kenapa Bulan Suro terkenal angker
Kepercayaan terhadap keangkeran Bulan Suro sepertinya sudah mengakar dan tidak diketahui dari mana asal mulanya. Namun beberapa pihak berspekulasi bahwa kepercayaan ini tumbuh karena adanya asimilasi budaya Hindu dan Islam dan memunculkan isme baru yaitu paham kejawen. Salah satu yang diduga kuat menjadi latar belakang dari kangkeran bulan ini adalah sejarah zaman kerajaan tempo dulu. Terutama di daerah Jawa, sebagian keraton selalu mengadakan ritual memandikan pusaka keraton setiap malam 1 Suro.
Ritual yang dikenal dengan ritual menjamas pusaka keraton ini dahulunya merupakan sebuah tradisi yang menyenangkan bagi masyarakat. Pasalnya zaman dahulu sangat minim hiburan sehingga ritual ini akan menjadi daya tarik tersendiri kala itu. Dengan kekuatan karisma keraton maka dibuatlah stigma tentang ‘angker’ bulan Suro. Hal ini dilakukan agar masyarakat tidak membuat hajatan pada bulan ini sehingga menyebabkan sepinya ritual yang diadakan keraton. Atau dengan kata lain keraton bisa kalah pamor jika warganya menyelenggarakan hajatan khususnya pernikahan.
Jika hal ini terjadi, maka akan berdampak pada kurangnya legitimasi dan kewibawaan keraton, yang pada saat itu merupakan sumber segala hukum. Tradisi memandikan keris dan pusaka ini juga menjadi ajang untuk memupuk kesetiaan rakyat kepada Keraton. Mitos tentang angkernya Bulan Suro terus diserukan oleh para abdi keraton agar rakyat percaya sehingga tidak mengadakan kegiatan yang bisa menganggu acara keraton. Ternyata hal ini membawa ketakutan di benak masyarakat dan mendarah daging hingga saat ini.
Bahkan tidak hanya masyarakat Jawa saja, beberapa suku di Indonesia juga menghindari melakukan sesuatu yang bersifat duniawi pada bulan ini karena takut ketiban sial. Hal ini tentu berbeda dengan pandangan Islam terhadap Bulan Muharram ini. Tindakan menganggap suatu waktu adalah sial merupakan tindakan mencela waktu dan tidak disukai Allah SWT. Padahal Allah adalah sang pemilik waktu. Dalam sebuah riwayat Nabi Muhammad SAW menjelaskan bagaimana marahnya Allah ketika hambanya mencela waktu.
”Allah ’Azza wa Jalla berfirman, ’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. Muslim no. 6000). Anggapan sial dalam agama disebut dengan istilah tathoyyur. Istilah ini muncul karena orang Arab yang dahulu biasanya mencela masa (waktu). Dalam An Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shohih Muslim (7/419) disebutkan, orang Arab biasanya mencela masa (waktu) ketika tertimpa berbagai macam musibah seperti kematian, kepikunan, hilang (rusak)-nya harta dan lain sebagainya sehingga mereka mengucapkan ’Ya khoybah dahr’ (ungkapan mencela waktu,) dan ucapan celaan lainnya yang ditujukan kepada waktu.
“Tidak ada di antara kita yang selamat dari beranggapan sial. Menghilangkan anggapan sial tersebut adalah dengan bertawakkal.” (HR. Abu Daud no. 3912. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 429). Ingatlah bahwa setiap kesialan atau musibah yang menimpa, sebenarnya bukanlah disebabkan oleh waktu, orang atau tempat tertentu! Namun, semua itu adalah ketentuan Allah Ta’ala Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Perhatikanlah firman Allah ’Azza wa Jalla (yang artinya), ”Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Asy Syuraa [42] : 30)