Satu Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Sura (Suro), dimana bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender hijriyah yang diterbitkan oleh Sultan Agung, raja terbesar Mataram Islam yang memerintah pada tahun 1613-1645. Beliaulah yang menciptakan Kalender Jawa yang merupakan perpaduan Kalender Saka yang berasal dari India dengan Kalender Hijriah asal Arab.
Waktu itu Kalender Saka bertarikh tahun 1547 sementara Kalender Hijriyah bertarikh tahun 1035. Pada tahun 1625 Sultan Agung yang berusaha menyebarkan Agama Islam berusaha merangkul orang Jawa yang kala itu mayoritas memeluk agama Hindu-Budha yang menggunakan Kalender Saka. Ada analisis, agar penyebaran Agama Islam itu tidak memunculkan konflik, maka lewat budayalah penyebaran itu dilakukan. Hal itu sudah dimulai oleh para wali sejak pemerintah Kasultanan Demak pada beberapa dekade sebelumnya.
Baca juga: Keunikan Angka dalam Bahasa Jawa
Ketika Kalender Jawa resmi digunakan, tarikh tahun Saka masih tetap digunakan sebagai azas kesinambungan. Maka tahun 1547 diteruskan sebagai Tahun Jawa. Ada 12 bulan di Kalender Jawa yakni: Sura, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah (arwah/saban), Pasa (puwasa, syiam, ramelan), Sawal, Sela (Dulkangidah, apit), Besar (Dulkijah). Kalender Jawa juga mengenal nama-nama tahun seperti orang China. Ada delapan tahun di Jawa yaitu Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir. Delapan tahun itu disebut satu windu. Oleh karena itu ada ritual peringatan satu windu (semacam ulang tahun) pada budaya Jawa.
Pembuatan Kalender Jawa itu sekaligus juga untuk merangkul seluruh rakyat Jawa untuk menyatu di bawah kekuasaan Mataram. Dan pada gilirannya kemudian dijadikan sebuah momentum politik menggalang kekuatan untuk menyerbu Belanda dengan VOC-nya di Batavia pada tahun 1628 dan 1629.
Beberapa penulis sejarah berpendapat Sultan Agung mengembangkan budaya pedalaman Jawa yang berciri kejawen, feodal dan berbau mistik. Hal itu berbeda dengan para raja sebelumnya yang berciri perniagaan sehingga banyak pelabuhan tumbuh subur di pesisir utara Jawa.
Kemungkinan, budaya feodal dan mistik itu terpengaruh dengan letak ibu kota kerajaan yang berada di pedalaman dan akhirnya berorientasi ke laut selatan yang bersifat mistis dengan kepercayaan pada Nyi Roro Kidul, penguasa gaib di laut selatan Pulau Jawa. Konon, Nyi Roro Kidul itu memiliki perjanjian menikah dengan para raja Mataram sejak masa Panembahan Senopati sebagai bagian dari persekutuan mistis.
Baca juga: 5 Lokasi Ini Dipercaya Jadi Tempat Pertemuan Nyi Roro Kidul dengan Manusia
Ada banyak mitos ketika tiba bulan Suro, banyak pandangan dalam masyarakat Jawa yang menganggap kramat, terlebih bila jatuh pada jumat legi. Misalnya, pantangan tidak boleh menikah di bulan ini karena kemungkinan cerainya lebih besar. Secara umum bulan Suro dinilai sebagai bulan sial sehingga sepanjang bulan ini berbagai macam pesta juga tidak diperkenankan.
Banyak latarbelakang historis peristiwa penting yang terjadi di bulan Suro, khususnya penganut agama Islam, yang tentu saja berafiliasi dengan kebudayaan Mataram Jawa-Hindu. Untuk sebagian masyarakat Jawa pada malam satu suro dilarang untuk kemana mana kecuali untuk berdoa ataupun melakukan ibadah lain.
Berikut Tradisi / Ritual pada malam 1 suro yang masih rutin di jalankan:
1. Tapa Bisu Mubeng Beteng
Tapa Bisu Mubeng Beteng merupakan bagian dari upacara malam satu suro yang tiap tahun dilakukan warga. Tapa Bisu atau mengunci mulut yaitu tidak mengeluarkan kata-kata selama ritual ini. Yang dapat dimaknai sebagai upacara untuk mawas diri, berkaca pada diri atas apa yang dilakoninya selama setahun penuh, menghadapi tahun baru di esok paginya. Seperti tradisi Tapa Bisu yang di lakukan di kota Jogja, mereka melakukan untuk memohon perlindungan dan keselamatan kepada Allah SWT dengan harapan diberikan yang terbaik untuk Kota Jogja.
Baca juga: Mengenal ‘Kopassus’ Pengawal Keraton Yogyakarta
2. Kungkum
Kungkum adalah berendam di sungai besar, sendang atau sumber mata air tertentu, Yang paling mudah ditemui di Jawa khususnya di seputaran Yogyakarta adalah Tirakatan (tidak tidur semalam suntuk) dengan tuguran (perenungan diri sambil berdoa) dan Pagelaran Wayang Kulit.
3. Ritual Ruwatan
Tradisi yang hingga kini masih dipergunakan orang jawa, sebagai sarana pembebasan dan penyucian manusia atas dosanya/kesalahannya yang berdampak kesialan didalam hidupnya. Dalam cerita “wayang“ dengan lakon Murwakalapada tradisi ruwatan di jawa ( jawa tengah) awalnya diperkirakan berkembang didalam cerita jawa kuno, yang isi pokoknya memuat masalah pensucian, yaitu pembebasan dewa yang telah ternoda, agar menjadi suci kembali, atau meruwat berarti: mengatasi atau menghindari sesuatu kesusahan batin dengan cara mengadakan pertunjukan/ritual dengan media wayang kulit yang mengambil tema/cerita Murwakala.
4. Kirab Kebo Bule
Kirab Kebo Bule adalah tradisi yang dilakukan Keraton Kasunanan Surakarta. Dimana ada sekawanan kerbau (kebo) yang dipercaya keramat, yaitu Kebo Bule Kyai Slamet. Bukan sembarang kerbau, karena hewan ini termasuk pusaka penting milik keraton. Dalam buku Babad Solo karya Raden Mas (RM) Said, leluhur kebo bule adalah hewan klangenan atau kesayangan Paku Buwono II. Kirab itu sendiri berlangsung tengah malam, biasanya tepat tengah malam, tergantung “kemauan” dari kebo Kyai Slamet. Dan yang menarik dan tidak masuk akal dari tradisi ini adalah ketika orang orang berjalan mengikuti kirab, saling berebut berusaha menyentuh atau menjamah tubuh kebo bule. Tak cukup menyentuh tubuh kebo, orang-orang tersebut terus berjalan di belakang kerbau, menunggu sekawanan kebo bule buang kotoran. Begitu kotoran jatuh ke jalan, orang-orang pun saling berebut mendapatkannya. Mereka menyebut berebut kotoran tersebut sebagai sebagai tradisi ngalap berkah atau mencari berkah Kyai Slamet.
5. Ngumbah Keris
Ngumbah Keris adalah tradisi mencuci/membersihkan keris pusaka bagi orang yang memilikinya. Dalam tradisi masyarakat Jawa, ngumbah keris menjadi sesuatu kegiatan spiritual yang cukup sakral dan dilakukan hanya waktu tertentu. Lazimnya ngumbah pusaka dilakukan hanya sekali dalam satu tahun yakni pada bulan Suro. Oleh karena ngumbah keris mempunyai makna dan tujuan luhur, kegiatan ini termasuk dalam kegiatan ritual budaya yang dinilai sakral
6. Lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk)
Lek – lekan adalah tradisi yang biasanya dilakukan oleh warga warga di kampung. Biasanya para warga dikampung tersebut sudah menyiapkan acara masing-masing. Ada yang sekadar berkumpul dan lek-lekan di pos ronda, mengobrol di depan rumah atau makan-makan di gang.
7. Ritual Tirakatan
Ritual Tirakatan berasal dari kata Thoriqot atau Jalan, maknanya adalah kita berusaha mencari jalan agar dekat dengan Allah. Dengan kita melakukan ritual ini tanpa disadari ternyata kegiatan tirakatan ini juga telah meningkatkan kemampuan ketingkat yang lebih tinggi lagi, berupa keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, maupun kemampuan fisik dan pengolahan bathin kita untuk menghadapi berbagai cobaan dan tantangan yang kita hadapi.
—
Peringatan malam 1 suro yang bercampur mistis ini kerap menimbulkan kontroversi. Misalnya, pertanyaan tentang faedah ritual-ritual tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Juga, apakah kegiatan ini tergolong syirik bagi umat Islam, ataukah sekadar mengikuti budaya yang sudah turun-temurun.
Satu hal yang pasti bagi seorang muslim, tidak ada satu hari pun dalam setahun yang bermakna hari sial. Allah juga sudah berfirman dalam hadits qudsi, bahwa manusia tidak diperkenankan mengutuki waktu, atau dalam hal ini melabelkan kesialan pada hari-hari tertentu. Firman-Nya, “La tassubu ahadukum ad-Dahr, fa in-Allaha huwa ad-Dahr” – Janganlah kalian mencela Ad-Dahr (waktu) karena sesungguhnya Allah itu Ad-Dahr.”