Selama ini kita memaknai sila pertama Pancasila “Ketuhanan yang Maha Esa” sebagai pengakuan pada Tuhan yang Satu. Namun apa arti sesungguhnya Esa?
Nyatanya kata “Esa” yang diambil dari bahasa Sanskrit (Sanskerta) tidak mengartikan tunggal, atau satu.
Kata satu dalam bahasa sansekerta adalah EKA , bukan ESA. Lihat saja di semboyan Bhinneka Tunggal IKA. Bukan Bhinneka Tunggal ESA
Esa itu tidak sama dengan Eka.
Esa itu adalah kata ambilan dari bahasa Sanskrit yang bentuk kata bendanya adalah Etad artinya Suchness, as this, as it is. Untuk lebih jelasnya, bisa lihat di link berikut: http://sanskritdictionary.org/esa
Maka, bagaimana kita memaknai kata “Esa” pada sila pertama? Mengapa para pendiri bangsa secara SADAR menggunakan kata tersebut dan bukan “Eka”?
Sekiranya, pidato Soekarno di bawah ini bisa menjelaskan hal tersebut.
Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa.
Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain.
Nabi Muhammad s.a.w. telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima dari pada Negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!
Memahami ke-Esa-an Tuhan
Bangsa Indonesia yang berdasar Pancasila terbentuk dengan kekayaan budaya, bahasa, suku, serta agama/kepercayaan. Sehingga, negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa berarti negara mengakui setiap orang mempercayai keberadaan Tuhan-nya sesuai apa yang di-imani.
Dan Ketuhanan Yang Maha Esa artinya adalah Tuhan as it is. Tuhan dalam diriNya sendiri. Bukan “Tuhan” sebagai obyek akal kita. Tentu berbeda antara menyikapi Tuhan-as-it-is dengan Tuhan-as-obyek-akal. Kesemena-menaan dan kekerasan itu timbul karena SI OKNUM menganggap pengertian-akal-anda-tentang-Tuhan adalah Tuhan itu sendiri, sehingga mengabsolutkan pemahaman sekte SI OKNUM.
Jadi bisa kita simpulkan disini bahwa pihak yang menolak KeMaha-Esaan Tuhan adalah pihak yang semena-mena memaksakan pengertian Tuhan menurut kelompoknya sendiri, mengingkari keberagaman apa yang hadir mendunia as it is.
Mengapa Esa berubah makna?
Indikasi perubahan arti Esa sebagai “Satu” atau “Tunggal” kemungkinan pada masa pemerintahan Orde Baru. Pergeseran arti juga terjadi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
esa num tunggal; satu;– hilang, dua terbilang, pb berusaha terus dng keras hati hingga maksud tercapai; berbilang dr — , mengaji dr alif, pb melakukan sesuatu hendaknya dr permulaan;
beresa-esaan /ber·e·sa-e·sa·an/ v 1 cak berada seorang diri saja; 2 merasa lengang;
mengesakan /meng·e·sa·kan/ v menjadikan (menganggap) satu: ~ Tuhan (mengakui bahwa Tuhan hanya satu);
keesaan /ke·e·sa·an/ n sifat yg satu: ~ Tuhan
Setelah membaca artikel ini, semoga wawasan kita bertambah. Serta menyadari, para pendiri bangsa mengerti begitu banyaknya kepercayaan di Nusantara ini. Pancasila adalah pemersatu.
Ketika kita menyebut pendiri bangsa, tidak hanya Soekarno-Hatta, atau BPUPKI, melainkan juga para ulama, kyai, pendeta, pastor, yang memberi sumbang saran selama masa pra-kemerdekaan.
Bagi umat Islam, atau agama lain hendaknya memahami tenggang rasa, tepo seliro terhadap kepercayaan lain. Tetap berpegang pada inti pemahaman: Lakum Dinukum Waliyadin’. Pemaksaan kehendak dan mememberi label kafir bukanlah hak kita sebagai manusia, hanya Allah SWT yang punya wewenang.