GURU DALAM PANDANGAN SUNAN KALIJAGA DALAM SERAT WULANGREH
SERAT WULANGREH yang sampai saat ini masih populer memang bukanlah karya Sunan Kalijaga, melainkan karya Sri Susuhunan Paku Buwana IV dari keraton Surakarta Hadiningrat. Namun, serat yang terdiri dari dua bagian, yakni Tuladha (teladan) dan Wulangreh (ajaran) yang maasing-masing bagian terdiri dari lima tembang yaitu; dandanggula pelog pathet nem, kinanthi slendro pathet manyura, gambuh mangkubumen pelog pathet nem, pangkur gagad kasmaran pelog pathet nem, dan maskumambang pelog pathet nem di bagian tuladha dan dandang gula, kinanthi, gambuh, pangkur, dan maskumambang di bagian Wulangreh.
Dari kelima tembang tersebut, yang merupakan karangan Sunan Kalijaga adalah tembang Dandang Gula
GURU dalam pengertian Sunan Kalijaga yang ditulis oleh Sri Susuhunan Surakarta Hadiningrat (Hamengkubuwana IV) dalam Serat Wulangreh pupuh Dandang Gula bait ke IV, yaitu;
“Nanging yen sira nggeguru kaki, amiliha manungsa kang nyata, ingkang becik martabate, sarta kang wruh ing hukum, kang ibadah lan kang wirangi, sokur leh wong tapa, iya kang wus mungkul, tan mikir piwewehing liyan iku pantes yen den gurunana kaki, sartane kawruhira”
Dari penggalan pupuh dandang gula tersebut tersirat sebuah pengertian tentang guru, yaitu orang yang berilmu secara benar dan nyata, yang bermartabat, tahu hukum, menjalankan ibadah dan wira’i serta dapat dan mau mengamalkan ilmu yang dimilikinya.
Sebagai ulama, Sunan Kalijaga memberi tuntutan agar murid-muridnya menjadi guru dan menyebarkan Islam di seantero Jawa. Sunan Kalijaga memberi patokan tentang belajar dan berguru sebagai berikut:
Jika dipandang dari golongan, untuk menjadi guru sebaiknya;
1. golongan Wirya, yaitu dari golongan yang luhur budi pekertinya dan mempunyai derajat;
2. golongan Agama, yaitu ulama yang alim, menguasai kitab-kitab agama;
3. golongan Pertapa, yaitu pendeta yang masih ahli rilayat;
4. golongan Sujana, yaitu pendeta yang memiliki kelebihan dan menjadi orang baik;
5. golongan Aguna, yakni orang yang memiliki kepandaian dan menekuni suatu ilmu;
6. golongan Perwira, yakni para prajurit yang tersohor keperwiraannya;
7. golongan Abandha, yakni golongan orang kaya, dan masih bertahta; dan
8. golongan Supatya, yakni petani yang jujur.
Dari golongan-golongan orang yang berhak menjadi guru menurut Sunan Kalijaga di atas, membentuk sebuah pengertian juga bahwa, guru adalah orang yang berilmu dan mau mengajarkan ilmu yang dimilikinya, yang luhur derajatnya, yang tidak mengharapkan imbalan dari apa yang dilakukannya.
Untuk menjadi guru, seseorang juga harus,
1. Parama sastra, yakni pandai tata bahasa;
2. Parama kawi, yakni pandai berbahasa kawi (kesusastraan);
3. Mardi basa, yakni pandai mengolah kata-kata, pandai bersiasat;
4. Mardi walagu, yakni pandai memperindah irama lagu;
5. Hadi carita, yakni pandai bercerita, berbicara untuk meyakinkan orang lain;
6. Mandraguna, yakni kaya akan kepandaian;
7. Nawung krida, yakni tajam penglihatan batinnya, kuat analisisnya; dan
8. Sambegana, artinya kuat daya ingatnya.
Syarat-syarat tersebut memang bukanlah syarat mutlak untuk menjadi guru, namun alangkah baiknya jika ketika seseorang memenuhi syarat-syarat tersebut. Hal ini disebabkan karena dalam pandangan orang Jawa dahulu, guru merupakan orang yang terhormat yang mengajarkan ilmu, menunjukkan hidup yang sempurna hingga akhir hayat, yang memberi petunjuk tentang kebaikan dan dialah yang dapat memberikan naasihat sewaktu sedang susah hati.
Sementara pedoman guru dalam mengajar menurut Sunan Kalijaga ialah;
1. kasih sayang terhadap murid dan dianggap sebagai anak sendiri;
2. telaten mengajar, hingga anak didik menjadi bisa;
3. tanpa pamrih, tidak mengharapkan imbalan apa-apa;