Tahukah anda, bahwa penggagas pembangunan gedung DPR-RI dan Monumen Nasional (Monas) di lapangan merdeka, depan Istana Merdeka itu adalah Bung Karno, Presiden RI pertama dengan didukung oleh sejumlah arsitek jempolan pada waktu itu. Sebagai seniman dan insinyur sipil, Bung Karno tidak mau membangun monumen tanpa dasar filosofi yang bersumber pada sejarah budaya Indonesia.
Ternyata, wujud gedung DPR-RI dan Monas, didasarkan pada budaya Hindu kuno. Jika gedung DPR-RI melambangkan Yoni atau alat vital perempuan (vagina), maka Monas melambangkan lingga atau alat vital laki-laki (phallus). Tentu saja wujud kedua lambang tersebut tidak ditampilkan secara nyata (realis), tetapi dibuat secara absurd atau samar.
Vagina atau lubang peranakan, alias ‘jalan bayi saat lahir’, memiliki bagian yang disebut labium atau labia, atau bibir vagina. Dan bibir vagina itu sendiri terbagi dua bagian majus (majora) dan minus (minora).
Lalu bagaimana kaitannya kedua alat kelamin tersebut dengan teori politik?, lihatlah bentuk Monas. Monas adalah lambang lingga (phallus). Dia melambangkan laki-laki atau ayah. Itu sebabnya Monas dibangun di dekat Istana Merdeka. Si ayah menggambarkan pihak eksekutif maka tempatnya di Istana Merdeka.
Kemudian lihatlah bentuk gedung DPR-RI, bukankah dia memiliki unsur-unsur bentuk Yoni atau vagina dan labium. Perhatikan sekali lagi! gedung DPR-RI yang berada di Senayan tersebut, dia dilambangkan sebagai ibu (secara politis, dia adalah legislatif). Sang ibulah tempat melahirkan anak (Undang-Undang) setelah bekerjasama dengan sang ayah (eksekutif) yang ada di Istana Merdeka.
Jadi atap gedung DPR-RI tersebut melambangkan Yoni, bukan ‘bokong orang tengkurep’ atau ‘bathok kura-kura’. Selain proklamator, Bung Karno juga seorang seniman dan budayawan ulung!