Orang melakukan selfie dimana-mana, mulai dari kamar tidur, kamar mandi, kantor, hingga acara-acara khusus. Selfie juga sudah mendapat tempat di Oxford English Dictionary berdekatan dengan kata self dan selfish. Tahun 2013, selfie dinobatkan menjadi Word of The Year. Selfie telah mengambil alih budaya dan bahkan smartphone kita.
Fenomena selfie juga sudah mendunia dan dilakukan oleh siapa saja mulai dari presiden, Paus, selebriti hingga warga biasa. Tren ini terus tumbuh. Survei terbaru yang dilakukan Pew Internet and American Life Project menemukan bahwa 54 persen pengguna internet telah mengunggah foto asli mereka. Dari jutaan foto yang diunggah, sebagian besar adalah foto diri.
Saat ini, hampir 62 juta foto selfie diunggah di Instagram. Tentu, ini adalah media sosial yang secara signifikan berkontribusi pada popularitas potret pribadi itu. Angka tersebut, yang terus meningkat setiap hari, bahkan mulai menyertakan selfie di Facebook dan Twitter.
Di kamus, selfie didefinisikan sebagai foto yang diambil oleh diri sendiri, biasanya dengan smartphone atau webcam dan diunggah ke situs media sosial. Penyebutan pertama selfie diketahui di sebuah forum online Australia pada 2002, jauh sebelum teknologi kamera depan iPhone ditemukan dan popularitas media sosial meledak. Namun, yang membedakan selfie dari potret diri adalah medium yang digunakan dan penyebaran lewat media sosial.
Apa yang membuat selfie begitu menawan dan mengapa kita terdorong untuk mengambil setidaknya satu foto diri itu? Menurut Dr. Pamela Rutledge, psikolog dan direktur Psychology Media Research Center mengatakan keinginan untuk mengambil, mengunggah dan mendapatkan “likes” pada selfie kita karena dorongan ingin mendapatkan pengakuan dari orang lain. Ini adalah hal yang normal sebagai manusia.
Pengakuan sosial adalah kebutuhan nyata biologis manusia dan bahkan ada daerah otak yang didedikasikan untuk kegiatan sosial.