Jangan menghakimi dan mencap hanya SMA 70 Jakarta yang lekat dengan budaya kekerasan. Saat ini hampir di semua sekolah telah mengenal adanya kekerasan, bully dan tawuran.
Budaya tersebut rupanya berakar sejak tahun 1980-an hingga 1990 an di mana pada saat itu tawuran dianggap sebagai Hiburan pelepas penat seusai sekolah.
“Pada zaman itu, masyarakat memaknai tawuran sebagai hal yang berbeda dengan jaman sekarang. Dulu tidak ada televisi dengan beragam pilihan, tidak ada gadget, sehingga tawuran itu dilakukan karena mereka ingin Hiburan. Terkadang kalau mereka bosan mereka akan melakukan tawuran karena menurut mereka menyenangkan,” ujar Sari Monik Agustin, Pengamat Sosial dalam diskusi hasil penelitian ‘Budaya Kekerasan dan Bullying di Sekolah Menengah Atas’ di Universitas Al Azhar Indonesia, Kebayoran Baru, Jaksel.
Pada era itu, kekerasan tidak dimaknai sebagai kekerasan diluar batas, namun berfungsi untuk menertibkan. Pada saat itu, memukuli anak oleh guru dan orangtua dianggap sebagai bentuk pendisiplinan anak.
Karena saat itu tidak ada sumber informasi yang banyak. Berbeda dengan saat ini, dimana anak dapat mendengar, melihat dan membawa di media bahwa kekerasan tersebut adalah hal yang tidak baik.
Semuanya berubah ketika memasuki era akhir 90-an dan 2000-an. Kekerasan seperti tawuran, kekerasan dan bully dilakukan siswa tidak lagi sebagai bentuk pendisiplinan, tetapi sebagai penyaluran frustasi.
Hal inilah yang terjadi tidak hanya di SMA 70, namun di sekolah lain, yang saat ini melakukan tawuran, bahkan tanpa adanya alasan yang spesifik.