Urbanisasi adalah cerita klasik yang selalu terjadi di akhir masa-masa liburan Lebaran. Berbondong-bondong pendatang baru dari luar Kota Surabaya masuk ke Kota Pahlawan untuk merenggut sedikit asa yang sudah jarang ada di daerahnya. Ketidaksiapan mereka yang masuk ke Kota untuk bertahan dan berkembang inilah yang harus direspon Pemkot Surabaya dengan tindakan nyata supaya urbanisasi tidak lebih dari perpindahan kemiskinan dari daerah ke Kota.
Ritual mudik kembali terjadi. Ada yang berangkat sendiri-sendiri, berkelompok dengan keluarga besar, maupun ikut program mudik bareng yang digelar berbagai instansi dan perusahaan. Tidak ada data pasti yang bisa dijadikan referensi berapa jumlah warga Kota Surabaya yang ikut arus gelombang mudik.
Yang jelas, setiap usai lebaran. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil selalu berteriak bahwa warga kota ini bertambah, kisarannya antara 0,5 sampai 1 persen dari sekitar 2.885.862 jiwa jumlah penduduk Surabaya dengan luas kota hanya kurang lebih 29.000 hektar. Mereka adalah warga baru yang datang dari berbagai daerah, sebagian besar untuk mengadu untung di kota ini.
Fenomena mudik dan arus balik memang tidak bisa dihindari. Apalagi untuk kota besar yang menjadi pusat-pusat ekonomi. Rumusnya seperti gula dan semut. Di situ ada gula, pasti semut akan merubungnya. Kalau kota ini terus bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang signifikan, tentu akan merangsang orang berdatangan. Sebab, hanya di kota yang berkembang kemampuan dan tenaga kerja mempunyai peluang.
Orang yang berdatangan ke kota juga tidak sepenuhnya merugikan. Malah keberadaan mereka ikut menjadi bagian dari pertumbuhan. Tengok saja Surabaya pada lima tahun terakhir. Pembangunan infrastruktur bermunculan, mulai dari perumahan, pertokoan sampai dengan infrastruktur jalan. Semuanya membutuhkan tenaga jasa yang di Surabaya sendiri tidak bisa mencukupinya. Maka, kedatangan para jasa pertukangan dan bangunan dari berbagai daerah ini bisa berdatangan ke kota. Tentu tidak hanya pertumbuhan ekonomi menjadi daya tariknya. Infrastruktur dan berbagai fasilitas pendukung kota itu juga sangat menentukan. Jika kota ini aman, nyaman dan tenteram, tentu orang-orang ini akan berdatangan. Jika pemerintah bisa memberikan layanan yang baik untuk mereka, bisa diharapkan bukan hanya kuli dan tukang yang menjadi migran.
Makanya, tugas pemerintah adalah memberikan pengharapan bagi datangnya orang-orang kreatif pencipta pekerjaan, bukan hanya mereka yang mengandalkan peluang yang sudah ada. Untuk inilah pemerintah harus terus membangun. Bukan hanya untuk keberhasilan politik perseorangan, tapi membuat keseimbangan pertumbuhan secara terus-menerus. Untuk memberi pengharapan bahwa siapapun yang tinggal di kota ini bisa berkembang, ikut menentukan kemajuan.
Tapi sejauh mana mereka tetap dibutuhkan. Jawabannya sepanjang peluang pekerjaan untuk mereka tetap ada. Jika tidak, maka mereka akan menjadi beban kota. Berbagai masalah sosial di perkotaan biasanya terjadi karena kesenjangan antara jumlah tenaga dan peluang yang ada. Kesenjangan antara kemampuan sumber daya manusia dengan kebutuhan tenaga kerja. Ketimpangan antara sektor-sektor yang berkembang dengan sumber daya yang tersedia.
Ketika sedang membangun, tentu dibutuhkan tenaga kerja di sektor jasa pertukangan dan bangunan. Setelah bangunan itu selesai, diperlukan tenaga yang sudah berbeda. Untuk pertokoan, perlu tenaga jasa penjaga toko dan sebagainya. Untuk Perumahan, dibutuhkan pembantu rumah tangga dan semacamnya. Untuk perusahaan produksi tertentu, dibutuhkan tenaga kerja terampil lainnya. Untuk rumah makan, diperlukan chef (tukang masak) dan pelayan yang terampil dan ramah.
Bagi sebuah kota yang sedang berkembang tidak hanya tenaga-tenaga itu yang dibutuhkan, tetapi jenis-jenis manusia kreatif lainnya. Mereka tentu tidak saja tumbuh dari kota itu semata, mereka bisa berasal dari mana saja. Diperlukan para manusia yang mempunyai modal dan kepiawaian untuk menciptakan peluang kerja baru. Bahasa korannya disebut wiraswastawan. Nah, kalau tenaga tambahan yang ke kota berasal dari jenis ini, tentu berkah untuk kota itu yang didapat.
Treatment urbanisasi kita hampir sama dengan treatment yang dilakukan untuk pencegahan wabah flu burung, flu babi atau wabah penyakit menular lainnya. Urbanisasi dalam kacamata pemkot ibarat wabah penyakit yang harus dihindari dan kalau perlu dibasmi. Tapi apakah memang demikian. Apakah memang sedemikian parahkah urbanisasi sehingga harus dilabeli dan diperlakukan sebagai penyakit menular yang berbahaya.
Bagaimanapun juga, urbanisasi adalah fenomena sosial yang pasti akan terjadi. Urbanisasi sudah ada sejak definisi kota itu ada. Kota tanpa urbanisasi adalah yang sekarat, kota yang mati. Kalau kita lihat sejarah perkembangan kota-kota besar dunia, di masa lampau dan sampai sekarang, tidak ada kota besar yang tidak berkembang tanpa bantuan urbanisasi.
Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, bahkan Bangkok, Tokyo, Seoul, Shanghai, Hongkong, Beijing, London, Paris, San Fransisco dan sebagainya, bisa menjadi kota besar seperti sekarang ini adalah karena adanya arus urbanisasi. Kota-kota jadul seperti Roma, Paris dan Istambulpun berkembang karena adanya urbanisasi.
Urbanisasi memang selalu memberi akses negatif pada kota, tetapi dari sisi perkembangan kota ekses negatif masih jauh lebih sedikit dari manfaatnya bagi perkembangan kota. Artinya Pemkot jangan hanya karena tidak mampu menangani ekses jadi langsung menyalahkan yang utama. Hal ini tak ubahnya dengan konsep bakar lumbung untuk basmi tikus. Lumbung habis terbakar tapi tikus belum tentu hilang untuk menyelesaikan masalah.
Disadari atau tidak bahwa perkembangan kota tidak lepas dari perkembangan daerah-daerah sekitarnya. Kota yang sombong dan memandang urbanisasi sebagai wabah penyakit adalah kota yang menafikan ketergantungannya terhadap daerah-daerah sekitar. Kota itu lupa bahwa keberhasilan kota itu tumbuh tidak lepas dari peran daerah sekitarnya. ”Salah satu pandangan bijak melihat urbanisasi adalah kota jangan ingin maju sendiri tanpa memperdulikan peran daerah sekitar. Artinya, kalau mau maju, majulah bersama-sama.” harapnya.
Cara memberikan akses mudah antara kota dan daerah adalah salah satu cara untuk maju bersama antara kota dan daerah. Selama ini ada pandangan yang salah kalau akses ke kota dari daerah begitu mudah, maka akan ada eksodus besar-besaran penduduk desa ke kota.
Ini tidak tepat, justru dengan adanya akses yang mudah, penduduk desa akan mudah ke kota dan juga akan mudah kembali ke desa. Akses yang mudah akan membuat kota menjadi sesuatu yang mudah dicapai dan bukan sebuah mimpi untuk dicapai. Akses yang mudah antara kota dan desa (daerah) akan menghilangkan (setidaknya mengurangi secara signifikan) jurang perbedaan kemakmuran antara kota dan desa. Jika skema ini yang berjalan, mudik bukan lagi sesuatu yang mencemaskan. Bukan lagi ritual yang semata-mata menimbulkan beban baru kota dan tidak hanya menjadi bagian ritual keagamaan setiap lebaran. Tapi menjadi bagian dari redistribusi uang yang selama ini terpusat di perkotaan. Mudik akhirnya menjadi suatu model dan instrumen pemerataan.
Kan lebih baik menyediakannya dalam mangkuk-mangkuk yang berbagai ukuran yang sesuai sehingga mudah mengaturnya daripada memasukkan semuanya dalam satu baskom yang besar. Di dalam baskom yang besar, selain sulit mengaturnya, juga terlihat berantakan dan tidak menarik, sementara setiap hari rata-rata 200 warga pendatang mengajukan Surat Pindah Menjadi Penduduk (SPMP) ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya. Urbanisasi yang terus-menerus terjadi ini mengakibatkan perbandingan jumlah penduduk dengan luas kota tidak berimbang. Akibatnya, Kota Surabaya kelebihan beban penduduk.