Pengertian dan Sejarah Suluk Linglung Sunan Kalijaga
Secara etimologi suluk berarti mistis, atau jalan menuju kesempurnaan batin. Di samping pengertian tersebut dalam perspektif lain suluk diartikan sebagai khalwat, pengasingan diri dan ilmu-ilmu tentang tasawuf atau mistis. Dalam sastra Jawa suluk berarti ajaran, falsafah untuk mencari hubungan dan persatuan manusia dengan Tuhan, sedangkan dalam seni pendalangan suluk dapat diartikan sebagai nyanyian dalang untuk menimbulkan suasana tertentu.
Dalam komunitas tarekat suluk diartikan sebagai perjalanan untuk membawa seseorang agar dekat dengan Tuhan sedangkan orang yang melakukan perjalanan tarekat dinamakan salik. Dalam tarekat pengertian suluk cenderung bersifat mistis dan aplikasi ritual tasawuf untuk mencapai
kehidupan rohani.
Linglung merupakan struktur bahasa Jawa yang artinya “bingung”. Bingung di sini diartikan ketidakpastian, atau dapat diartikan sebagai kumpulan dari cerita, aplikasi ritual tasawuf Sunan Kalijaga ketika ia mengalami kebingungan dalam mencapai hakekat kehidupan.
Suluk dalam Jawa adalah ajaran filsafat untuk mencari hubungan dan persatuan manusia dengan Tuhan, suluk merupakan salah satu bentuk ajaran yang termanifestasikan dalam sebuah kitab atau karya. Suluk Linglung Sunan Kalijaga merupakan salah satu dari sekian ajaran filasafat yang digubah oleh Iman Anom.
Suluk Linglung merupakan salah satu karya sastra Sunan Kalijaga yang sampai saat ini masih jarang ditemukan diliteratur Jawa. Buku ini merupakan terjemahan dari kitab kuno warisan dari sepuh Kadilangu Demak, R.Ng. Noto Subroto kepada ibu R.A.Y Supratini Mursidi, yang keduanya adalah anak cucu Sunan Kalijaga yang ke-13 dan 14.39 Kitab kuno yang diberi nama Suluk Linglung ini memuat tentang pengobatan dengan menggunakan berbagai ramuan tradisional, azimah yang berbentuk rajah huruf arab serta memakai isim, berbagai macam do’a. Disamping itu suluk merupakan sebuah goresan dalam bentuk bibliografi dari proses kehidupan batin seseorang atau tokoh.
Buku kuno ini menggunakan simbol-simbol prasastri penulisan ngrasa sirna sarira aji yang berarti bermakna 1806 caka bertepatan dengan tahun 1884 Masehi. Buku kuno ini ditulis diatas kertas yang dibuat dari serat kulit hewan yang merupakan transliterasi dari kitab Duryat yang diwariskan secara turun temurun oleh keluarga Sunan Kalijaga.
Kondisi Teks dan Kandungan Ajaran Suluk Linglung Sunan Kalijaga Tentang Makrifat.
Dalam kehidupan tasawuf, seorang yang ingin menyempurnakan dirinya harus melalui beberapa tahap-tahap dalam perjalanan spiritualnya. Dimana tahap paling dasar adalah syari’at, yaitu tahap pelatihan badan agar dicapai kedisiplinan dan kesegaran jasmani. Dalam syari’at hubungan antar manusia dijalin menjadi umat, syariat dimaksudkan untuk membawa seseorang ke dalam sebuah bangunan kolektif, yang disebut umat, bangunan persaudaraan berdasarkan kepercayaan atau agama yang sama.
Begitu juga yang diajarkan dan dilaksanakan oleh Sunan Kalijaga di dalam kitab Suluk Linglung, ia sangat menekankan pentingnya menjalankan syari’at Islam seperti yang diajarkan oleh Rasulullah saw, termasuk sholat lima waktu, puasa ramadhan, membayar zakat dan menjalankan ibadah haji. Agar dapat menjalankan ajaran Islam yang sempurna dan sungguh-sungguh (kaffah), baginya harus melalui berbagai tirakat dan perenungan diri yang sungguh-sungguh pula. Dengan begitu manusia akan dapat mengerti makna hidup sejati dan mencapai makrifat yang diajarkan Sunan Kalijaga dalam suluk tersebut, adalah sebagai berikut;
Pertama, Brahmara Ngisep Sari Pupuh Dhandanggula (Kumbang Menghisap Madu). Dalam teks aslinya, “pawartane padhita linuwih, ingkang sampun saget sami pejah, pejah sajroning uripe, sanget
kepenginipun, pawartane kang sampun urip, marma ngelampahi kesah, tan uningeng luput, anderpati tan katedah, warta ingkang kagem para nabi wali, mila wangsul kewala”.
Artinya: “menceritakan tentang seorang alim ulama’ yang cerdik dan pandai yang sudah bisa merasakan mati, mati dalam hidup yang mempunyai keinginan besar untuk memperoleh petunjuk dari seorang yang sudah menemukan hakekat kehidupan dan perjalanan untuk tidak memperdulikan dampak yang terjadi. Beliau bernafsu untuk mendapatkan petunjuk, petunjuk yang dipegang oleh para nabi dan wali, itulah tujuan yang diharapkan semata-mata”.
Pada bagian ini mengupas tentang Sunan Kalijaga berhasrat besar untuk mencari ilmu yang menjadi pegangan para Nabi dan wali. Dengan kondisi bimbang dan tidak menentu Sunan Kalijaga selalu berusaha untuk mengabdi dan mencari petunjuk, salah satu usaha yang ditempuh adalah dengan mengendalikan segala hawa nafsunya yang selanjutnya berserah diri kepada Allah, yang diibaratkan sebagai kumbang ingin mengisap madu / sari kembang.
Dalam hal ini Sunan Kalijaga berusaha untuk mengendalikan segala hawa nafsunya. Rendah hati dalam bersikap, prihatin, tidak bermewah-mewah (memikirkan kehidupan dunia), membunuh segala nafsu jiwa raga dan berserah diri pada Allah.
Maksud mengalirnya madu adalah orang yang diberi kemuliaan oleh suksma. Dia tetap kokoh dalam budi. Arti menjalankan tapa adalah menyakiti badan dari waktu muda sampai tua, masuk hutan yang sunyi, masuk gua bersemadi di tempat yang sepi, membunuh jiwa raga. Dengan begitu bila mendapat hidayah Ilahi, maka pengetahuan tentang Allah akan sampai kepadanya, begitulah yang dilakukan Sunan Kalijaga. Manfaat orang yang suka prihatin, seluruh cita-citanya akan dikabulkan Allah, apabila belajar ilmu akan mudah paham, apabila mencari rizki akan mudah didapatkan dan apabila melakukan sesuatu pekerjaan akan cepat selesai.
Demikian tapanya para ulama dan wali Allah yang telah sempurna tekadnya. Bila orang ingin seperti itu hendaklah jiwa raga disiksa, raga selalu disakiti lupakan tidur. Bila ingin tahu tentang asal mulanya, jasadnya disiksa dengan maksud agar menyatu pada suksma. Dalam teksnya dijelaskan:
“……Dennya amrih wekasing urip, dadya napsu ingobat kabanjur kalantur, eca dhahar lawan nendra, saking tyas awon poerang lan napsu neki,…….
Artinya “………berbagai usaha ditempuh agar akhir hidupnya nanti, mampu mengatasi atau mengobati nafsunya, jangan sampai terlanjur nafsunya, puas makan dan tidur sebab hatinya kalah perang dengan nafsunya”.
Kedua, Kasmaran Branta Pupuh Asmara Dana (rindu kasih sayang pupuh asmara dana) pada bagian ini mengupas tentang Sunan Kalijaga berguru kepada Sunan Bonang, serta wejangan-wejangan (petunjuk-petunjuk) yang diterimanya.
Untuk memperkuat ketajaman batin, maka Sunan Kalijaga mengajarkan berbagai jenis tapa agar diikuti para murid-muridnya. Sunan Kalijaga sendiri pernah menjadi petapa ketika berguru kepada Sunan Bonang.
Pertama ia bertapa menunggui tongkat Sunan Bonang dan kedua bertapa ngidang menyamar menjadi kijang, makan daun-daunan dan tinggal di hutan belantara. Dalam teksnya dijelaskan:
Pada bait ketiga ” wonten setengah wanadri, gennya ingkang gurdagurda. Pan sawarsa ing lamine, anulya kinene ngaluwat, pinendhen madyeng wana, setahun nulya dinudhuk, dateng jeng suhunan benang”
Artinya “, berada ditengah hutan belantara, tempat tumbuhnya pohon gurda yang banyak sekali, dengan tenggang waktu setahun lamanya, kemudian disuruh “ngaluwat” ditanam ditengah hutan. Setahun kemudian dibongkar oleh kanjeng Sunan Bonang”
Dan pada bait ketujuh belas, ” pan angidang lampah neki, awor lan kidang manjangan, atenapi yen asare pan aturu tumut, lir kadya sutaning kidang”
Artinya, “untuk menjalankan laku kijang, berbaur dengan kijang menjangan, bilamana ingin tidur, ia mengikuti cara tidur terbalik, seperti tidurnya kijang, kalau pergi mencari makan seperti caranya anak kijang”.
Tapa-tapa yang dianjurkan Sunan Kalijaga diantaranya:
a. Badan, tapanya berlaku sopan santun, zakatnya gemar berbuat kebajikan.
b. Hati atau budi, tapanya rela dan sabar, zakatnya bersih dari prasangka buruk.
c. Nafsu, tapanya berhati ikhlas, zakatnya tabah menjalani cobaan dalam sengsara dan mudah mengampuni kesalahan orang.
d. Nyawa atau roh, tapanya belaku jujur, zakatnya tidak mengganggu orang lain dan tidak mencela.
e. Rahsa, tapanya berlaku utama, zakatnya duka diam dan menyesali kesalahan atau bertaubat.
f. Cahaya ata Nur, tapanya berlaku suci dan zakatnya berhati ikhlas.
g. Atma atau hayu, tapanya berlaku awas dan zakatnya selalu ingat. Di samping itu diajarkan pula tapa dan perbuatan yang berhubungan dengan tujuh anggota badan;
1. Mata, tapanya mengurangi tidur, zakatnya tidak menginginkan kepunyaan orang lain.
2. Telinga, tapanya mencegah hawa nafsu, zakatnya tidak mendengarkan perkataan-perkataan yang buruk
3. Hidung, tapanya mengurangi minum, zakatnya tidak suka mencela keburukan orang lain
4. Lisan, tapanya mengurangi makan, zakatnya dengan menghindari perkataan-perkataan buruk
5. Aurat, tapanya menahan syahwat dan zakatnya menghindari perbuatan zina
6. Tangan, tapanya mencegah perbuatan mencuri, zakatnya tidak suka memkul orang lain
7. Kaki, tapanya tidak untuk berjalan berbuat kejahatan dan zakatnya menyukai berjalan untuk istirahat dan intropeksi.
8.
Ketiga, Pupuh Durna, yang berisikan tentang Sunan Kalijaga yang diperintahkan ibadah haji ke Makkah dan bertemu dengan nabi Khidir di tengah samudera. Dalam teks tersebut disebutkan:
“Sang pendeta wus lajeng hing lampahira, mring benang dhepok sepi, nyata kawuwusa, Lampahe Syeh Melaya, kang arsa amunggah kaji, dhateng hing makkah, lampahnya murang margi”.
Artinya, ” Sunan Bonang sudah lebih dulu melangkahkan kaki, menuju desa Benang yang sepi. Dan selanjutnya kita ikuti, perjalanan Syeikh Malaya, yang berkehendak naik haji menuju Makkah dia menempuh jalan pintas.
Setelah melalui proses tafakkur Sunan Bonang kemudian menyuruh Sunan Kalijaga untuk pergi ke makkah menunaikan ibadah haji yang kemudian diperintahkan untuk bertemu nabi Khidzir dan berguru kepadanya.
Sunan Kalijaga bertemu Nabi Khidzir ditengah samudera yang kemudian nabi khidzir memberikan wejangan kepada Sunan Kalijaga tentang Hidayatullah (petunjuk Allah).
Hidayatullah dapat diartikan sebagai petunjuk Allah. Petunjuk merupakan sebuah anugerah yang tidak diterima oleh setiap orang. Sebagaimana dalam teks tersebut dijelaskan “nyuwun wikan kang sifat hidayatullah munggah kajiyo miring Makkah marga suci”, artinya bahwa untuk mencapai petunjuk dari Allah manusia harus dalam kondisi suci, suci secara dhahiriyah dan bathiniah dan dilakukan hati tulus dan ikhlas.
Sebagaimana Sunan Bonang menyarankan kepada Sunan Kalijaga untuk mencari kepandaian dan hidayatullah di Makkah. Makkah merupakan kota suci, kota sebagai kiblat bagi seluruh umat Islam yang mampu naik haji, sehingga dalam Islam pun diwajibkan bagi umat Islam yang mampu naik haji
sebagai perwujudan pelaksanaan rukun Islam yang kelima.
Keempat, sang Nabi Khidzir (Pupuh Dhandhang Gula), mengupas tentang dialog antara Syeh Malaya dengan nabi Khidzir yang berisikan wejangan tentang hidayatullah dan kematian dengan berbagai aspeknya.
Dalam teks aslinya “….nadyan wus haji iku yen tan weruh paraning kaji ,…margone tan kanggo lunga, mring ka’bah yen arsa wruh ing ka’bah jati, jati iman h idayat”.
Artinya, “…oleh karena itu, biarpun kamu sudah naik haji bila belum tahu tujuan yang sebenarnya dari ibadah haji, kamu akan rugi besar…ka’bah yang hendak kau kunjungi itu sebenarnya ka’batullah (ka’bah Allah). Demikian itu sesungguhnya iman hidayat yang harus kamu yakinkan dalam hati. Kalau seseorang akan melakukan ibadah haji, maka harus diketahui tujuan yang sebenarnya, kalau tidak, apa yang dilakukan itu sia-sia belaka, itulah yang dinamakan iman hidayat. Dan sebelum seseorang melakukan sesuatu hendaklah diteliti agar tidak tertipu oleh nafsu, supaya tetap dalam jati diri yang asli (pancamaya). Penghalang tingkah laku kebaikan ada tiga golongan, dan siapa berhasil menjauhi penghalang tersebut akan berhasil menyatukan dirinya dengan yang ghaib. Yang dimaksud dengan penghalang tersebut adalah marah, sakit hati, angkara murka, sombong dan semacam itu.
Dalam teksnya dijelaskan, “pan isine jagad amepeki, iya iku kang telung prakara, pamurunge laku kabeh kang bisa pisah iku, yekti bisa amoring ghaib, iku mungsuhe tapa, ati kang tetelu, ireng, abang,
kuningsamya, angadhangi cipta karsa kang lestari, pamore sulama mulya”.
Artinya, ” sebab isinya dunia ini sudah lengkap, yaitu terbagi ke dalam tiga golongan, semuanya adalah penghalang tingkah laku kalau mampu menjauhi itu, pasti dapat berkumpul dengan ghaib, itu yang menghalangi meningkatkan citra diri, hati yang tiga macam, hitam, merah, kuning, semua itu, menghalangi pikiran dan kehendak tiada putus-putusnya, akan menyatunya dengan Tuhan yang membuat nyawa lagi mulia”.
Godaan yang berat digambarkan empat penari pada keempat sudut itu, yaitu nafsu-nafsu yang timbul dari badan kita sendiri, pertama, amarah, yaitu nafsu yang menimbulkan rasa ingin marah, ingin menguasai, ingin menaklukkan, serakah dan kejam, segala tindakannya selalu merugikan orang lain. Dalam ilmu Jawa, nafsu amarah biasa digambarkan dengan sinar (cahaya) yang berwarna merah, kedua, aluamah, nafsu yang menimbulkan keinginan untuk makan dan minum secara berlebihan. Orang yang menuruti nafsu aluamah gemar makan yang enak-enak, rakus, tak pernah merasa puas, dan malas bekerja. Nafsu aluamah digambarkan dengan sinar (cahaya) yang berwarna hitam. Ketiga sufi’ah, nafsu yang menimbulkan sifat dengki dan iri hati. Orang dengan nafsu ini selalu menggerutu dan iri hati kepada temanya yang kaya dan pandai, tetapi ia sendiri tidak mau berusaha.
Sifat sufiah digambarkan dengan sinar (cahaya) berwarna kuning. Keempat, mutmainnah, nafsu yang pada dasarnya baik, suka memberi, penyayang. Orang yang menuruti hawa nafsu mutmainnah sangat menyayangi orang lain tanpa perhitungan. Hal ini dapat menjadikan dirinya celaka dan orang yang diberi juga ikut celaka. Sifat mutmainnah digambarkan dengan sinar (cahaya) putih.
Si penari (budi manusia) haruslah dapat mengekang dan menguasai empat nafsu itu, dan disalurkan ke arah (hal-hal) yang baik, agar dapat memiliki (mencapai) waranggana (cita-cita yang mulia) yang dikejarnya. Nafsu amarah disertai keberanian dan terpelihara, dapatlah ia mencapai martabat yang tinggi dan tidak akan berbuat kejam. Nafsu aluamah disertai rajin dan menjaga kesehatan dapatlah ia mencapai kecukupan hidupnya dan badan tetap terpelihara. Nafsu sufiah, disertai usaha maka ia sanggup mencapai apa yang diinginkan. Nafsu mutmainah, disertai perhitungan, akan mendatangkan ketenteraman hidup, tertolong sebagaimana mestinya.
Kelima, Kinanthi (Pupuh Kinanthi) yang terdiri dari enam puluh bait yang berisikan tentang ajaran nabi Khidzir kepada Sunan Kalijaga tentang ilmu yakin, ainul yakin, haqqul yakin, makrifatul yaqin dan iman hidayat serta sifat-sifat yang terpuji.
Dalam teks aslinya disebutkan “urip jroning johar iku, urip mati sajroning, iya aneng johar awal, pagene sholat sireki, ya ora ing ndalem ndoya, purwane sholat puniki”.
Artinya: “jelasnya, kehidupan yang telah digariskan sebelumnya oleh johar itu, telah memuat garis hidup dan mati kita. Segalanya telah ditentukan di dalam johar awal. Dari keterangan tentang johar awal tadi, tentu akan menimbulkan pertanyaan, diantaranya; mengapa kamu wajib sholat, di dalam dunia ini?”.
Pada bagian ini Sunan Kalijaga belajar tentang ilmu yaqin, ainul yaqin dan haqqul yaqin serta makrifat, yang kemudian nabi Khidzir memberikan contoh tentang sholat sebagai bukti keyakinan manusia tentang adanya Tuhan atau Allah yang harus disembah, yang pada prinsipnya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini ada yang menciptakan. Begitu pun juga manusia, eksistensi manusia di bumi karena adanya sang pencipta yaitu Allah. Adanya manusia itulah yang membuktikan adanya Allah, dan tanda-tanda adanya Allah adalah pada dirimu kata Nabi Khidzir kepada Sunan Kalijaga.
Sebenarnya tanda-tanda adanya Allah itu ada pada diri manusia sendiri, barang siapa yang mengetahui dirinya sendiri maka akan mengetahui Tuhannya, jadi dengan bertafakkur atas diri dan sifat-sifatnya sendiri, manusia mengetahui bahwa ia sebenarnya dijadikan dari setetes air yang tidak
mempunyai akal sedikitpun dan, tidak pula mempunyai pendengaran, penglihatan, kaki, tangan, kepala dan sebagainya. Dari sinilah manusia akan mengetahui dengan terang dan nyata bawa tingkat kesempurnaan yang ia capai bukan ia sendiri yang membuatnya melainkan Allah lah yang menciptakan karena sehelai rambut manusia tidak akan sanggup membuatnya.
Manusia harus selalu bermakrifat kepada Allah, dalam ayat Al-Qur’an menjelaskan bahwa pengagungan kepada Allah diwujudkan dengan makrifat, kalau tidak makrifat berarti tidak menghargai Allah. Allah berfirman;”… dan tiada mereka mengagungkan Allah sebagaimana mestinya” (al-An-‘am: 91).
Yang dimaksud tidak mengagungkan Allah dalam ayat itu berarti tidak makrifat kepada-Nya. Makrifat merupakan sifat orang-orang yang mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, kemudian membenarkan Allah dengan melaksanakan ajarannya dalam perbuatan. Selain itu makrifat dapat membersihkan diri dari akhlak yang rendah dan dosa-dosa, yang kemudian lama-lama dapat mengetuk “pintu” Allah dengan hati yang istiqomah, dia melakukan makrifat untuk menjauhi dosa-dosa. Sehingga dia memperoleh hidayah dari Allah.54 Yang kesemuanya itu diperlukan adanya tauhid yang kuat. Dalam teksnya dijelaskan “…tauahid panembah reki, makrifat pangawruh kita, ya ru’yat minangka seksi” artinya tauhid adalah pengetahuan yang penting untuk menyembah pada Allah juga makrifat harus kita miliki untuk mengetahui kejelasan yang terlihat, ya rukyat (ya dengan melihat pakai mata telanjang) sebagai saksi adanya terlihat dengan nyata”.
Keenam, Pupuh Dhandhang Gula yang terdiri dari lima puluh dua bait, pada bagian ini berisi tentang Sunan Kalijaga menerima wejangan dari nabi Khidzir Dalam teks aslinya disebutkan ” kawisayan kang marang ing pati, den kahasto pamanthenging cipta, rupa ingkang sabenere, sinengker buwaneku, urip data nana nguripi, datan antara mangsa, iya anaripun, pas wus ana ing sarira, tuhu tunggal sejane lawan sireki, tan kena pisahenna.
Artinya; “cobaan hidup yang menuju kematian. ditimbulkan akibat buah pikir, bentuk yang sebenarnya ialah tersimpan rapat di dalam jagatmu! Hidup tanpa ada yang menghidupi kecuali Allah saja. Tiada antara lamanya tentang adanya itu. Bukanlah sudah berada ditubuh? Sungguh bersama lainnya selalu ada dengan kau! Tak mungkin terpisahkan
Pada bagian ini Sunan Kalijaga mendapatkan wejangan tentang hakikat hidup, hidup yang penuh cobaan dan masalah semua itu harus diserahkan sepenuhnya kepada Allah karena segala yang muncul di muka bumi karena Allah.
Allah adalah sumber kebahagiaan, sumber kedamaian, sumber keselamatan, meskipun demikian, rasa di dalam batinlah yang bisa menangkap kebahagiaan itu. Hakikat rasa adalah tumbuhnya kemampuan untuk merasakan kehadiran Tuhan. Kemampuan untuk melihat wajah-Nya, kemampuan untuk menghadap dihadirat-Nya, sehingga sang jiwa menjadi madeg dan mantep dalam mengarungi kehidupan ini.
Manusia harus menghadap realita mutlak (kebenaran sejati) yang berada dalam diri manusia sendiri, sehingga di dalam Suluk Linglung dinamakan “tunggal lawan sang hyang widi”, hamba menyatu dengan Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini disebut dalam Pupuh Kinanthi bait 53;
” Thaukid hidayat sireku, tunggal lawan Sang Hyang widi, tunggal sira lawan Allah, uga donya uga akhir, ya rumangsana pangeran, ya Allah ana nireki”.
Artinya; “Thaukid hidayat yang sudah ada padamu, menyatu dengan Tuhan yang terpilih. Menyatu dengan Tuhan Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Dan kamu harus merasa bahwa Tuhan Allah itu ada dalam dirimu”.
Ajaran makrifat yang di ajarkan oleh sunan kalijaga tidak hanya melibatkan dunia dalam microkosmos tetapi juga memandang dunia secara macrokosmos (misalnya alam semesta, kenyataan sosial, dll), agar manusia jangan sampai melupakan tujuan hidup manusia yang sesungguhnya baik di dunia dan di akhirat.
Bagi sufi mencapai makrifat, maka berarti dia makin dekat dengan Tuhan, dan akhirnya dapat bersatu dengan Tuhan. Tetapi, sebelum seorang sufi bersatu dengan Tuhan dia harus lebih dahulu menghancurkan dirinya.
Selama dia belum menghancurkan dirinya, yaitu dia masih sadar akan dirinya dia tidak akan dapat bersatu dengan Tuhan. Penghancuran diri ini dalam tasawuf disebut fana (hilang, hancur). Fana yang dicari oleh sufi ialah penghancuran diri, yaitu hancurnya peranan dan kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia ini.
Jika seseorang telah mencapai, yaitu kalau wujud jasmaninya tak ada lagi (dalam arti tak disadarinya lagi), maka yang tinggal ialah wujud rohaninya dan ketika itu dapatlah ia bersatu dengan Tuhan. Kelihatannya persatuan dengan Tuhan ini terjadi langsung setelah tercapainya fana’ tak ubahnya dengan fana’ tentang kejahilan, maksiat dan kelakuan buruk. Dengan hancurnya hal-hal buruk ini, maka yang tinggal ialah pengetahuan, takwa dan kelakuan baik. (Sumber: Siami Nahri F – Dok. Rumah Pendidikan Sciena Madani)