Pernah mendengar pepatah ‘Bagai buah simalakama, dimakan ibu mati, tak dimakan ayah mati’ ? Tentu saja. Maknanya pun kita pahami yaitu ‘berada dalam situasi pelik untuk memilih di antara dua alternatif yang sama-sama buruknya’ atau ‘menghadapi suatu dilema’.
Namun, apakah buah simalakama ini benar-benar ada, ataukah sekadar perumpamaan belaka? Kalau memang ada, bagaimana ‘pasalnya’ kok bila dimakan ibu mati, tak dimakan ayah mati?
Apakah buah ini ada?
Ternyata, buah simalakama ini memang benar ada, dan sebutan ini dahulu kala dipakai di daratan Melayu. Buah ini berbentuk bulat, berwarna merah dengan diameter 3-6 sentimeter. Nama latinnya adalah Phaleria papuana dan dalam bahasa Jawa disebut dengan Makutadewa atau Makutoratu, sehingga kini buah ini dikenal dengan nama ‘buah mahkota dewa’. Buah ini sangat beracun (toksis) dan bila tak diproses dengan benar dapat mengakibatkan kematian bagi orang yang mengonsumsinya. Oleh karenanya, patut ditengarai bahwa istilah ’si malakama’ ini merupakan modifikasi (word corruption) dari kata ‘malak-ul-maut’ (bahasa Arab yang bermakna ‘malaikat pencabut nyawa).
Apa saja kandungannya? Buah malakama ini ternyata mengandung zat-zat yang mujarab untuk mengobati berbagai macam penyakit, termasuk penyakit kanker. Pada penelitian ilmiah, ekstrak buah ini dapat menghambat pertumbuhan sel kanker sampai 50 persen. Kulit serta daging buah ini dapat dipakai untuk mengobati penyakit disentri, jerawat dan psoriasis (kelainan kulit). Ekstrak buah ini dapat dipakai sebagai anti-histamin (penawar alergi), anti-piretik (penurun panas), analgetik (menghilangkan rasa nyeri dan sakit), menurunkan kadar asam urat. Bahkan sebagai obat herbal, si malakama ini disebutkan dapat mengatasi penyakit jantung, diabetes, penyakit ginjal, hipertensi, dan lemah syahwat.
Di atas sudah disebutkan bahwa buah ini sangat beracun (highly toxic) dan justru dengan toksisitas yang tinggi ini dia dapat membunuh sel-sel kanker. Lalu bagaimana cikal bakal kelahiran kiasan ‘dimakan ibu mati, tak dimakan ayah mati’? Jadi, pada suatu keluarga melayu di mana si ibu dan si ayah sedang dirundung penyakit yang parah, sang anak sedang memegang buah malakama yang legendaris ini. Dia tahu bahwa buah ini bak pedang bermata dua, dia dapat mematikan dan dapat menyembuhkan. Kebimbangan meliputi dirinya. Penyakit ibunya atau penyakit ayahnyakah yang dapat disembuhkan dengan buah malakama ini? Bila diberikan kepada ibunya, berarti ayahnya tidak memperolehnya, dan begitu sebaliknya. Salah mengambil keputusan akan berakibat fatal bagi keduanya. Sang ibu akan mati karena keracunan, dan sang ayah akan mati pula karena tak memperoleh obat penawar penyakitnya. Itulah kira-kira ’skenario’ dari kiasan ‘bagai buah simalakama, dimakan ibu mati, tak dimakan ayah mati’.
Dilema zaman baheula ini tentu saja tak dialami di zaman modern sekarang, karena berkat perkembangan ilmu pengetahuan, buah malakama alias buah mahkota dewa ini dapat diproses dengan aman tanpa menghilangkan khasiat medisnya untuk mengatasi penyakit kanker dan penyakit berbahaya lainnya.