Unsur Thorium ditemukan pada tahun 1828 dan namanya diambil dari Thor, nama Dewa Petir bangsa Viking atau Norseman.
Sekilas tentang Thorium
Di alam, bisa dikatakan semua thorium adalah thorium-232, dan mempunyai waktu paruh sekitar 14.05 milyar tahun. Jumlah thorium di kulit bumi diperkirakan sekitar empat kali lebih banyak dari uranium. Saat ini Thorium biasanya digunakan sebagai elemen dalam bola lampu dan sebagai bahan campuran logam.
Banyak negara di seluruh dunia mulai mempertimbangkan rencana untuk menggunakan thorium sebagai pembangkit listrik tenaga nuklir karena keamanannya dan ketersediaan bahan baku yang lebih banyak di banding uranium.
Thorium dapat terbakar lebih lama dan suhu lebih tinggi untuk mendapatkan efisiensi lebih banyak dibanding bahan bakar konvensional lainnya, termasuk penggunaan bahan bakar, tidak perlu mengemas limbah, dan secara signifikan mengurangi isotop radioaktif yang memiliki waktu paruh yang lama.
Sebagai perbandingan, 1 kilogram thorium akan menghasilkan energi yang setara dengan yang dihasilkan oleh 300 kilogram uranium atau 3,5 juta kilogram batubara, tanpa efek lingkungan dari batubara di atmosfir atau resiko yang berhubungan dengan limbah uranium.
Thorium menghasilkan limbah 90% lebih sedikit dibanding uranium, dan hanya membutuhkan sekitar 200 tahun untuk menyimpan limbahnya, dibanding uranium yang membutuhkan waktu 10.000 tahun untuk menyimpan limbahnya.
Perkembangan reaktor berbahan bakar Thorium
Thorium memang belum banyak didengar. Jika ada istilah nuklir hijau, maka thorium-lah itu. Reaktor nuklir bertenaga thorium tidak pernah dapat meleleh. Hal ini karena thorium sedikit lebih ringan daripada uranium dan tidak fissile, artinya kita bisa menumpuknya dan tidak akan mengalami reaksi runaway berantai. Sebaliknya, kita perlu menyuntikkan energi ke dalam reaktor thorium agar menyala atau kick off.
Beberapa desain menggunakan uranium atau plutonium sebagai pemicu kick off. Desain yang lebih aman lagi menggunakan berkas partikel untuk memicu reaksi. Desain tersebut dikenal sebagai sistem accelerator-driven, reaktor menggunakan akselerator partikel untuk menghasilkan berkas proton yang ditembakkan ke thorium, menghasilkan neutron. Thorium merupakan pilihan yang baik karena memiliki neutron-yield yang tinggi per neutron yang diserap. Jika ada masalah, kita dapat mematikan berkas, dan reaktor akan mendingin dengan sendirinya. Pelelehan dihindari dengan tidak melakukan apa-apa.
Sedangkan untuk reaktor uranium, pada keadaan operasi normal, diperlukan intervensi konstan yang aktif untuk mencegah pelelehan atau meltdown.
Oleh karena thorium lebih ringan dari uranium, maka thorium menghasilkan by-product limbah radioaktif tingkat tinggi yang lebih sedikit. Limbah ini umum dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga nuklir. Jika reaktor berbahan bakar uranium menghasilkan limbah berton-ton selama hidup reaktor, dan tetap beracun selama 10.000 tahun kedepan, maka reaktor thorium menghasilkan lebih sedikit limbah, yang tetap beracun hanya untuk sekitar 500 tahun kedepan. Jelas lebih aman dari Uranium.
Sumber daya Thorium sendiri juga sangat berlimpah, jauh lebih banyak daripada uranium. Australia memiliki cadangan terbesar thorium di dunia, diikuti oleh India. Thorium langsung dapat diekstraksi dari tanah, dan jauh lebih aman terhadap lingkungan.
International Atomic Energy Agency (IAEA) memperkirakan bahwa potensi sumber daya thorium adalah antara tiga dan empat kali lebih banyak daripada potensi sumber daya uranium dan juga jauh lebih efisien dalam siklus bahan bakar – antara 100 dan 300 kali lebih efisien daripada reaktor standar light-water.
Thorium juga tidak memerlukan pengayaan; sebagian besar uranium (sekitar 99,3 persen) yang ditambang dari tanah tidak cocok untuk reaktor nuklir, sehingga harus diproses di dalam alat sentrifugasi untuk mengekstraksi fissile uranium-235. Di sisi lain, thorium dapat digunakan langsung setelah diekstraksi dari tanah, artinya per ton galian tambang, dapat menghasilkan sekitar 40 kali lebih banyak energi dibandingkan dengan uranium.
Singkatnya, thorium mudah didapat, dapat membangkitkan beban-dasar listrik tanpa risiko pelelehan atau meltdown, tanpa risiko proliferasi senjata seperti halnya uranium, menghasilkan jauh lebih sedikit limbah, dan ada beberapa desain reaktor yang telah diuji dan terbukti bekerja.
Saat ini beberapa negara berinvestasi dalam penelitian untuk membangun reaktor nuklir berbahan bakar thorium. Pemenang Nobel, Carlo Rubbia dari CERN (European Organization for Nuclear Research), telah meneliti tentang pengembangan penggunaan thorium sebagai alternatif yang murah, bersih dan aman sebagai pengganti uranium di reaktor. Rubbia menyatakan bahwa satu ton torium dapat menghasilkan energi sebanyak 200 ton uranium, atau 3.500.000 ton batubara. Salah satu pionir teknologi ini adalah fisikawan AS Alvin Weinberg dari Oak Ridge National Laboratory di Tennessee, yang membantu mengembangkan PLTN berbahan bakar cair pada tahun 1960.
Perusahaan Norwegia Aker Solutions membeli paten dari Carlo Rubbia untuk siklus bahan bakar thorium, dan saat ini mengerjakan desain untuk akselerator proton. Menurut suatu sumber proyek ini menghabiskan $ 1,8 miliar dan dapat menghasilkan jaringan reaktor nuklir bawah tanah, dengan masing-masing unit menghasilkan sekitar 600 MW. Ukurannya yang kecil akan meniadakan instalasi keamanan besar yang umum disyaratkan untuk pembangkit listrik tenaga nuklir berukuran penuh.