SALAH satu isu hangat di masyarakat di setiap Ramadhan adalah masalah penetapan 1 Syawal. Berbagai pertanyaan mengemuka, “Kapan nih jadinya lebaran?” atau “Lebaran nanti beda-beda nggak, ya?”. Semuanya itu sedikit banyak menunjukkan perlunya pemahaman kita tentang 1 Syawal dan beberapa metode yang digunakan untuk menentukannya.
Tentu kita sudah mafhum bahwa 1 Syawal adalah penanggalan Hijriyah atau Qomariyah atau penanggalan berdasarkan bulan. Berbeda dengan terbit dan tenggelamnya matahari yang memiliki regularitas lebih ‘ajeg‘, terbit dan tenggelamnya bulan terus bervariasi secara dinamis setiap bulan dan setiap harinya. Maka, diperlukan perhitungan atau pengamatan setiap saat untuk dapat menentukan secara pasti kapan tanggal 1 di setiap bulan Hijriyah dimulai.
Nah, terkait dengan penetapan 1 Syawal, dasar dari semua metode penetapan adalah hadist Nabi, “Berpuasalah kalian apabila melihatnya (bulan) dan berbukalah kalian apabila melihatnya (bulan),” [HR. Bukhari & Muslim]. Jadi, kita diperintahkan untuk melihat bulan di ufuk barat di setiap tanggal 29 Ramadhan. Jika terlihat, berarti maghrib itu sudah masuk 1 Syawal dan besoknya Idul Fitri. Jika tidak terlihat, berarti belum 1 Syawal, maka kita menggenapkan Ramadhan menjadi 30 hari, dan berarti Idul Fitri jatuh pada lusanya.
Perkembangan astronomi dan ilmu yang menyertainya (ilmu falak) membawa kita pada metode yang sekarang kita kenal dengan hisab (perhitungan). Dengan teknik ilmu falak, kita dapat mengetahui posisi benda-benda langit termasuk posisi bulan dan matahari pada waktu tertentu.
Untuk menentukan 1 Syawal, kita menghitung terlebih dahulu kapan terjadinya Ijtimak (new moon), yaitu saat dimana matahari-bumi-bulan berada dalam satu garis lurus. Selanjutnya, mengacu pada hadist di atas, kita harus memastikan syarat kedua, apakah bulan tersebut “ada” di atas ufuk barat dalam perspektif kita berdiri. Dengan kata lain, pada saat matahari tenggelam, bulan belum tenggelam alias masih terbit walau hanya beberapa menit. Kondisi sebaliknya, jika bulan telah tenggelam ketika matahari tenggelam, dapat dipastikan bulan tidak ada di atas ufuk meski sudah Ijtimak.
Nah, dari sinilah terjadi beberapa perbedaan pendapat. Pendapat pertama, Wujudul Hilal, yang berpendapat bahwa 1 Syawal terpenuhi ketika berdasar hitungan bulan ada di atas ufuk.
Pendapat kedua, Imkanurrukyat, yang berpendapat bahwa 1 Syawal terpenuhi ketika berdasar hitungan bulan ada di atas ufuk dan punya ketinggian yang memungkinkan untuk dilihat. Dalam konteks pendapat kedua ini, ada yang mengatakan ketinggian bulan harus minimal 2 derajat untuk memenuhi syarat visibilitas.
Metode hisab digunakan beberapa pihak sebagai metode utama. Artinya mereka tidak melakukan lagi pengamatan bulan secara langsung (rukyat). Namun, sampai saat ini masih banyak pihak yang menjadikan metode rukyat sebagai metode utama. Artinya, hisab adalah pendukung dilakukannya pengamatan bulan secara langsung.
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Agama, akan melakukan sidang Itsbat (penetapan) dengan memperhatikan semua masukan dan pendapat tesebut. Memang penetapan yang dibuat pemerintah nantinya tidak bersifat mengikat, namun mudah-mudahan sebagai hub bertemunya berbagai pendapat, semoga ketetapan pemerintah menjadi keputusan terbaik. Wallahu’alam.